Oleh Yusdi Usman
Setiap orang punya rasa takut, sekecil apapun itu. Semua orang juga punya rasa takut saat di udara. Bedanya adalah bahwa ada orang yang bisa mengelola rasa takutnya dengan baik, dan ada orang yang tidak bisa mengelola rasa takut ini. Mereka yang bisa mengelola rasa takut cenderung tenang saat dalam penerbangan. Sebaliknya, mereka yang tidak bisa mengelola rasa takut, cenderung cemas sepanjang perjalanan udara.
Saya sendiri tidak tahu apakah bisa mengelola rasa takut ini dengan baik. Seringkali, rasa takut muncul dan memuncak saat terjadi turbulensi dan goncangan hebat di udara. Saat kondisi seperti ini, saya sering melihat penumpang kiri kanan menjadi komat kamit dan khusu’ berdoa. Ada juga yang berteriak histeris.
Rasa takut saya dalam penerbangan udara mulai muncul saat saya berusia di atas 30an. Sebelumnya, saya tidak mempunyai rasa takut sedikit pun saat penerbangan udara. Saya memulai kegiatan perjalanan udara sejak tahun 2002, saat saya belum berumah tangga dan usia masih di bawah 30 tahun.
Saat itu, saya paling senang duduk di kursi paling belakang pesawat terbang. Mengapa? Saya sangat menikmati goncangan-goncangan di belakang pesawat yang memberi sensasi berbeda jika saya duduk di depan. Karena itu, setiap ada kesempatan perjalanan udara, saya akan memilih kursi paling belakang saat check in.
Berbeda kondisi psikologis saya setelah berkeluarga, punya anak dan usia mulai menginjak 30 tahun-an. Rasa takut dalam perjalanan udara mulai muncul. Saya mulai memilih tempat duduk di tengah atau di depan. Di wilayah tengah pesawat, yakni di bentang sayap, kondisinya lebih stabil dari goncangan.
***
Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air nomer penerbangan SJ 182 hari Sabtu lalu menambah rasa khawatir bagi mereka yang bepergian dengan pesawat udara. Meskipun perjalanan udara merupakan perjalanan yang sangat aman, dimana tingkat kecelakaan pesawat cenderung sangat kecil, namun rasa takut saat ada kejadian kecelakaan pesawat menjadi meningkat.
Apalagi bagi mereka yang tidak mempunyai pilihan dalam penerbangan. Masyarakat kelas bawah misalnya, biasanya akan memilih maskapai penerbangan berbiaya murah. Apakah penerbangan berbiaya murah ini lebih kurang aman dibanding dengan maskapai berbiaya mahal?
Saya tidak tahu persis. Yang jelas, hadirnya berbagai maskapai penerbangan yang menawarkan biaya murah, membuat akses dan mobilitas masyarakat kelas bawah menjadi sangat tinggi terhadap penerbangan udara.
Bukan hanya masyarakat kelas bawah, mereka yang sedang berhemat dan terbiasa dengan prilaku hemat, meskipun bukan kelas bawah, juga sangat diuntungkan dengan kehadiran maskapai berbiaya murah ini.
Beberapa teman mengatakan kepada saya bahwa mereka lebih suka menggunakan maskapai yang berbiaya mahal karena terjamin perawatan, kenyamanan, dan keselamatan. Bagaimanapun, lanjut beberapa teman saya itu, kenyamanan dan keselamatan adalah yang utama. Untuk sebuah kenyamanan dan keselamatan, biaya sedikit besar tidak masalah.
Itu juga yang menyebabkan sejumlah maskapai berbiaya mahal bisa tetap bertahan dalam persaingan bisnis penerbangan yang semakin ketat. Di sisi lain, hadirnya maskapai penerbangan berbiaya murah juga tidak bisa dikatakan bahwa mereka mengabaikan aspek kenyamanan dan keselamatan.
Sejumlah informasi yang saya pelajari dari berbagai sumber menyebutkan bahwa semua maskapai, apakah yang berbiaya mahal atau berbiaya murah, mereka harus menerapkan standar operational procedure (SOP) yang ketat dalam perawatan pesawat. Tidak boleh SOP ini dilanggar sedikit pun. Karena, pelanggaran SOP akan berdampak pada keselamatan orang lain.
Kalau semua maskapai menggunakan SOP yang sama untuk perawatan pesawat, baik mereka yang berbiaya mahal maupun murah, sebenarnya, semua penerbangan udara itu aman.
Lalu, mengapa masih sering terjadi kasus-kasus kecelakaan pesawat seperti Sriwijaya Air SJ 182 tahun 2021, atau Lion Air JT 610 tahun 2018, atau Air Asia QZ 8591 tahun 2014, dan lain sebagainya? Termasuk juga berbagai kecelakaan di belahan dunia lain?
Tentu banyak faktor yang menjadi sebab kecelakaan pesawat udara. Namun, saya percaya bahwa pesawat udara adalah moda transportasi paling aman di dunia ini. Apalagi negara kepulauan seperti Indonesia, pesawat udara menjadi moda transportasi yang mempersatukan bangsa ini secara lebih kuat, karena akses ke berbagai pelosok nusantara bisa dilakukan dengan mudah.
Karena itu, meskipun terjadi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182, tidak seharusnya kejadian ini membuat rasa takut melakukan perjalanan udara menjadi meningkat. Yang jelas, saat sudah di udara, pasrahkan diri pada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa.
Yusdi Usman adalah Sosiolog dan CEO Rumah Indonesia Berkelanjutan