Pembelahan Sosial Pada Periode Demokrasi Parlementer

Oleh Yusdi Usman

Periode demokrasi parlementer di Indonesia, dimulai dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Demokrasi parlementer ini diakhir dengan lahirnya Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan dimulainya era demokrasi terpimpin. Periode ini merupakan masa-masa dimana berbagai gejolak politik terjadi dan sekaligus melahirkan anomali. Gejolak politik ini ditandai oleh sejumlah kondisi politik nasional, yakni jatuh bangunnya kabinet dalam sistem parlementer, pemberontakan DI/TII, dan dinamika kekecewaan politik daerah dengan berdirinya PRRI pada 15 Pebruari 1958.

Sementara kondisi anomali yang terjadi pada periode ini adalah terlaksananya pemilihan umum pertama sejak Indonesia merdeka pada tahun 1955 secara adil dan demokratis, ditengah kontestasi politik yang sangat tajam secara ideologis. Anomali ini sekaligus menjadi bukti bahwa rakyat Indonesia siap menerima sistem demokrasi, disaat kondisi masyarakat masih banyak yang buta huruf dan belum memahami apa itu demokrasi. Apalagi, kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang masih jauh dari harapan.

Bagaimanapun, gejolak politik yang terjadi selama periode demokrasi parlementer ini, secara langsung berdampak pada pembelahan sosial di dalam masyarakat. Apalagi, perang ideologis antar berbagai kelompok sosial dan partai politik merupakan fenomena yang bisa kita temui selama berlangsungnya periode demokrasi parlementer ini. Tidak ada pembatasan kontestasi isu pada masa itu. Juga tidak ada UU ITE yang membatasi kekebasan berbicara. Yang dilarang hanya melakukan upaya yang merugikan kedudukan presiden dan wakil presiden.

Bisa dibayangkan bagaimana suasana liberal ini secara langsung membelah masyarakat secara sosial ke dalam berbagai kelompok ideologis. Pembelahan sosial bisa diterjemahkan sebagai terbelahnya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebabkan oleh adanya konflik politik, konflik ideologis, konflik etnis, konflik agama, dan berbagai konflik sosial lainnya, dimana kondisi konfliktual ini menyebabkan rusaknya tatanan sosial (social order), modal sosial (trust), dan kerekatan sosial (social cohesiveness), yang berlangsung dalam waktu tertentu, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Pembelahan Sosial Sebagai Dampak Gejolak Politik

Gejolak politik pertama yang terjadi pada periode demokrasi parlementer ini adalah jatuh bangunnya kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet yang berkuasa pada periode ini, yang didominasi oleh kelompok nasionalis (PNI) dan kelompok Islam (Masyumi). Berbeda dengan periode awal kemerdekaan (1945-1949), dimana tokoh-tokoh sosialis (PSI) menjadi pemain utama di panggung politik Indonesia, dengan munculnya Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri Indonesia pertama dan kedua, pada era demokrasi parlementer ini, pengaruh kaum sosialis kelihatannya mulai melemah. Apalagi, dalam pemilu 1955, PSI hanya mendapatkan 1,99% untuk suara DPR dan 1,84% untuk suara konstituante.

Karena itu, secara ideologis, hanya tiga kelompok ideologis yang sangat berpengaruh pada era demokrasi parlementer ini, yakni ideologi nasionalisme, Islam, dan komunisme. Berbeda dengan kelompok nasionalis dan Islam yang pernah menjadi perdana menteri selama periode ini, tokoh-tokoh komunisme tidak pernah berapa pada posisi ini.

Ketujuh perdana menteri dari kelompok Islam (Masyumi) dan nasionalis (PNI) yang pernah menjadi perdana menteri di era demokrasi parlementer adalah Kabinet Natsir dari Masyumi (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman dari Masyumi (April 1951-Pebruari 1952), Kabinet Wilopo dari PNI (April 1952-Juni 1953), Kabinet Ali Sastriamijoyo I dari PNI (Juli 1953-Agustus 1955), Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956-Maret 1957), dan Kabinet Juanda dari PNI (Maret 1957-5 Juli 1959).

Jatuh bangunnya kabinet pada periode demokrasi parlementer ini memperlihatkan bahwa sistem parlementer melahirkan instabilitas politik di pemerintahan. Hal ini disebabkan bahwa dalam sistem parlementer, semua kebijakan kabinet harus sejalan dengan kebijakan parlemen. Jika tidak, maka parlemen bisa memberikan mosi tidak percaya yang berakibat pada jatuhnya kabinet. Terlihat bahwa umur rata-rata kabinet selama periode ini hanya setahun, kecuali kabinet Ali Sastroamijoyo I yang bertahan sampai 2 tahun. Instabilitas politik bukan hanya terjadi antara kabinet dan kelompok oposisi, melainkan juga terkadang melibatkan militer.

Sejumlah literatur sejarah mencatat bahwa gejolak politik elit dalam sistem parlementer ini juga berpengaruh pada konflik di tingkat rakyat. Bahkan konflik antara kabinet Wilopo (PNI) dan oposisi berdampak pada terjadinya konflik dengan militer. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam Jejak Demokrasi Pemilu 1955 (2019: 3), mencatat bahwa pada tanggal 17 Oktober 1952, sebanyak 30.000 orang digerakkan oleh Angkatan Darat untuk menduduki gedung parlemen dan kemudian berunjuk rasa di depan istana merdeka. Kemudian sekelompok perwira Angkatan Darat menemui Presiden Sukarno, dan meminta presiden melakukan dua hal, yakni percepatan pemilu dan pembubaran parlemen. Permintaan pertama disetujui oleh Sukarno, namun pembubaran parlemen ditolak karena ia tidak mau dilabel sebagai seorang diktator.

Apa yang terlihat dari catatan ANRI tersebut adalah bahwa gejolak politik di kabinet, parlemen, dan melibatkan militer, secara langsung berdampak pada pembelahan di tingkat masyarakat. Upaya militer menggerakkan 30.000 orang menduduki parlemen dan berunjuk rasa di depan istana merupakan bentuk adanya konflik elit dan berpegaruh secara langsung pada pembelahan sosial di tingkat masyarakat.

Pembelahan sosial yang lebih mendalam terjadi saat berkembangnya pemberontakan DI/TII di era ini. Meskipun DI/TII sudah dideklarasikan sejak 7 Agustus 1949 oleh SM Kertosuwiryo, namun gerakan ini bertahan hingga dibubarkan tahun 1962. ANRI mencatat bahwa gangguan keamanan terhadap pemilu 1955 yang dilakukan oleh kelompok DI/TII cenderung dominan di Jawa Barat. Kelompok ini melakukan perusakan terhadap TPS, membakar rumah, dan terlibat kontak senjata dengan aparat keamanan. Gangguan ini berdampak pada penurunan partisipasi pemilih di Jawa Barat, sehingga hanya 70% pemilih di Jawa Barat yang berpartisipasi dalam pemilihan anggota DPR.

Pembelahan sosial sebagai dampak dari gerakan DI/TII ini selama periode demokrasi parlementer ini, khususnya terjadi di wilayah-wilayah yang mendukung gerakan ini, termasuk Jawa Barat, Aceh dibawah Daud Beureu’eh, dan Sulawesi Selatan dibawah Kahar Muzakkar. Banyak literatur sejarah yang menceritakan bagaimana lika-liku gerakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan, serta dampaknya pada konflik dan pembelahan sosial di tingkat masyarakat.

Kesimpulan yang dapat diambil dari gerakan ini adalah bahwa konflik politik akibat perbedaan nilai-nilai yang digunakan (incompatible values) dan tujuan yang diperjuangkan (incompatible objectives), oleh DI/TII telah melahirkan pembelahan sosial yang mendalam, baik di kalangan korban dan keluarga korban, maupun pembelahan sosial dalam kelompok masyarakat yang lebih luas.

Yang menarik dari konflik politik gerakan DI/TII dalam konteks pembelahan sosial ini adalah bagaimana penyelesaian terhadap gerakan ini. Di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, gerakan ini dapat dipadamkan setelah dieksekuti mati RM Kertosuwiryo pada 5 September 1962 di Kepulauan Seribu. Sementara gerakan yang sama di Sulawesi Selatan selesai setelah terbunuhnya Kahar Muzakkar dalam operasi militer oleh TNI pada 3 Pebruari 1965.

Yang menarik adalah penyesaiaan DI/TII di Aceh. Penyelesaiaan konflik di Aceh ini dilakukan melalui operasi militer dan diplomasi dengan Daud Beureu’eh. Akhirnya, setelah diplomasi panjang, maka penyelesaian akhir dari gerakan ini adalah melalui ”Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh”, pada bulan Desember 1962. Penyelesaiaan melalui diplomasi ini ternyata bisa mengurangi pembelahan sosial di dalam masyarakat yang sudah terjadi selama konflik ini berlangsung.

Gejolak politik terakhir yang menyebabkan pembelahan sosial pada era demokrasi parlementer ini adalah terjadinya konflik PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). PRRI dideklarasikan di Padang, Sumatera Barat, tanggal 15 Pebruari 1958, sebagai dampak dari kekecewaan terhadap pemerintah pusat, dan tuntutan terhadap otonomi daerah. Pemerintah Indonesia merespon gerakan PRRI ini melalui operasi militer besar-besaran dan berhasil.

Sejumlah literatur sejarah mencatat bahwa dampak dari PRRI adalah munculnya pembelahan sosial dalam masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minang bukan saja mendapat stigma sebagai pemberontak, tetapi juga mempengaruhi pola migrasi mereka ke luar daerah Sumatera Barat. Sejak saat ini, ada kecenderungan peningkatan migrasi orang Minang keluar Sumatera Barat. Kekerasan dari operasi militer dalam peristiwa PRRI membuat sebagian masyarakat Minang merasa terhina, dan menurunkan harkat dan martabat mereka sebagai bangsa pejuang sejak jaman kolonial.

Pembelahan Sosial Pascapemilu 1955

Pemilu legislatif pertama tahun 1955 dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pemilu paling demokratis dan adil. Padahal, konflik politik berbasis ideologis terjadi sangat tajam dalam pemilu ini. Ada tiga kelompok ideologi utama yang mempengaruhi kontestasi politik dalam pemilu 1955 ini, yakni nasionalisme yang diwakili oleh PNI, Islam yang diwakili oleh Masyumi dan NU, serta komunisme yang diwakili oleh PKI. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, sosialisme yang diwakili oleh PSI tidak punya pengaruh dominan pada masa ini, bahkan mereka kalah dalam pemilu 1955 ini.

Pemilu 1955 menghasilkan empat kekuatan politik utama yang mewakili tiga kelompok ideologi besar tersebut, yakni PNI menjadi pemenang pemilu mendapatkan 22,23 persen suara DPR dan 23,97 persen suara Konstituante, Masyumi di urutan kedua memperoleh 20,92 persen suara DPR dan 20,59 persen suara Konstituante, NU di peringkat ketiga mendapatkan 18,41 persen suara DPR dan 18,47 persen suara Konstituante, serta PKI diurutan keempat mendapatkan 16,36 persen suara DPR dan 16,47 persen suara Konstituante. Kalau kita perhatikan komposisi suara pemilu 1955 ini, maka kelompok Islam merupakan pemilih suara mayoritas, yakni 20,92 persen Masyumi dan 18,41 persen NU.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kontestasi politik tahun 1955 yang sangat tajam secara ideologis, bisa menghasilkan pemilu yang legitimit, adil dan demokratis? Padahal, kontestasi isu secara ideologis cenderung sangat terbuka saat itu, khususnya antara PNI, Masyumi dan PKI? Tulisan ini tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Namun yang penting adalah apakah anomali tersebut juga menghasilkan pembelahan sosial dalam masyarakat?

Selama kampanye pemilihan DPR dalam pemilu 1955, partai-partai politik besar, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI menggunakan berbagai metode kampanye, termasuk mengerahkan massa dalam bentuk rapat umum di lapangan terbuka, penyebaran alat-alat kampanye dalam bentuk poster, kartu, dan sebagainya. Pesan-pesan kampeaye penuh dengan perang ideologis dan saling menjatuhkan.

PNI menggunakan isu pemberantasan korupsi oleh kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) yang tebang pilih terhadap tokoh-tokoh PNI. Demikian juga Masyumi menghembuskan isu anti-Islam kepada PNI dan PKI. PKI juga demikian, menghembuskan isu antek asing dan hubungan dengan DI/TII kepada Masyumi, dan lain sebagainya. Ini hanya sebagian kecil contoh kontestasi isu yang muncul, ditengah beragam isu panas yang berkembang dalam pemilu 1955.

Yang menarik adalah bahwa, mekipun pemilu 1955 diwarnai oleh kontestasi ideologis yang sangat panas, namun ia kurang meninggalkan jejak pembelahan sosial yang mendalam di masyarakat. Hal ini terlihat dari tidak adanya gejolak di tingkat akar rumput pasca pemilu. Karena itu, pemilu 1955 bisa diterima oleh semua kelompok, meskipun ada tuduhan-tuduhan kecurangan antara Masyumi dan PNI.

Lemahnya jejak pembelahan sosial pasca pemilu 1955 bukan berarti bahwa kontestasi politik 1955 tidak melahirkan pembelahan sosial dalam masyarakat. Namun, bisa jadi jejak pembelahan ini tidak melahirkan konflik terbuka setelah pemilu 1955, tetapi tersimpan menjadi konfik latin (tersembunyi), yang kemudian melahirkan bentuk pembelahan sosial dalam spektrum berbeda-beda di kemudian hari.

Artikel ini pernah dimuat di www.watyutink.com

(Foto depan: www.watyutink.com)