Pembelahan Sosial Pada Periode Awal Kemerdekaan

Oleh Yusdi Usman

Pada periode awal kemerdekaan (1945-1949), konflik politik dan pembelahan sosial dalam masyarakat juga terjadi. Apalagi, periode awal kemerdekaan ini, bangsa Indonesia bukan saja sedang menata diri sebagai sebuah negara baru, tetapi juga harus menghadapi sisa-sisa kekuatan penjajah Belanda, yang masih ingin mencengkeram kakinya di Indonesia. Karena itu, pada periode ini, kerja-kerja politik cenderung mengarah pada upaya untuk menghadapi dua tantangan tersebut sekaligus.

Konflik politik pada periode awal kemerdekaan ini juga secara langsung berdampak pada pembelahan sosial dalam masyarakat. Namun demikian, pembelahan sosial sebagai akibat dari konflik politik pada masa itu, tentu saja, berbeda dengan pembelahan politik yang terjadi saat ini. Suasana kebatinan masyarakat sebagai sebuah negara baru, tentu saja berbeda dengan kondisi kebatinan masyarakat Indonesia di era milennial dan post-truth saat ini. Demikian juga perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat terbatas saat itu, melahirkan pola interaksi sosial yang berbeda dengan saat ini.

Namun demikian, yang namanya konflik politik tetap bisa terjadi dalam ruang publik, apakah konflik yang bersifat laten (tersembunyi) maupun konflik terbuka, baik dalam bentuk konfrontasi ide maupun benturan kekerasan di dalam masyarakat. Pada saat terjadinya benturan ide dan diikuti dengan adanya kekerasan sebagai dampak dari konflik politik di tingkat elit, pembelahan sosial dalam masyarakat biasanya mulai menemukan bentuknya.

Seperti sudah kita bahas dalam bagian pertama tulisan ini, mengacu pada Coser (1967) dan Kriesberg (1998), konflik politik umumnya disebabkan oleh adanya perbedaan nilai-nilai (incompatible values) dan perbedaan tujuan (incompatible objectives) yang diperjuangkan oleh sejumlah kekuatan politik atau kelompok-kelompok masyarakat yang berafiliasi pada kekuatan politik tertentu. Incompatible values dan incompatible objectives ini, dalam bahasa lain, juga bisa diterjemahkan sebagai perbedaan ideologi. Sementara ideologi dapat diterjemahkan sebagai sebuah sistem ide yang dikonstruksikan secara sosial, berbasis pada nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai.

Pada periode awal kemerdekaan Indonesia, kelompok-kelompok ideologis sudah eksis, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Secara umum, kelompok ideologis yang terbentuk pada periode awal kemerdekaan itu, terbagi dalam empat kelompok besar, yakni nasionalisme, Islam, sosialisme, dan komunisme. Keempat ideologi besar inilah yang mempengaruhi sistem ide para tokoh pendiri bangsa dan masyarakat Indonesia pada periode awal kemerdekaan ini.

Banyak literatur sejarah menjelaskan bagaimana konflik politik dan dinamika elit pada masa awal kemerdekaan terjadi. Namun, sedikit literatur yang menggambarkan bagaimana konflik politik ini berdampak pada pembelahan sosial pada masyarakat, kecuali setelah peristiwa Madiun 1948.

Musuh Bersama Sebagai Pemersatu

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat empat kelompok ideologis dominan yang mempengaruhi diskursus politik pada periode awal kemerdekaan Indonesia (1945-1949), yakni nasionalisme, Islam, sosialisme dan komunisme. Keempat ideologi ini mempunyai basis nilai-nilai (values) dan kepercayaan (beliefs) yang sangat berbeda. Namun dalam konteks tertentu, keempat kelompok ideologis ini mempunyai kesamaan tujuan (compatible objective), yakni sama-sama menentang kolonialisme dan imperialisme sebagai musuh bersama. Di titik inilah, semua kelompok politik yang berafiliasi pada keempat ideologi ini, dapat bersatu dalam memperkuat kemerdekaan Indonesia pada periode awal ini.

Ideologi nasionalisme diwakili oleh kelompok militer dan tokoh-tokoh bangsa seperti Sukarno, Hatta, dan lain-lain, serta Partai Nasional Indonesia (PNI) yang lahir tahun 1928. Kelompok yang mewakili ideologi Islam adalah Masyumi (berdiri tahun 1943) yang merupakan federasi dari empat organisasi Islam, yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Ideologi sosialisme diperankan oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sedangkan ideologi komunisme diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berbagai organisasi underbow yang berafiliasi pada komunisme.

Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan oleh Amir Syarifuddin pada tahun 1945 pernah menjadi kekuatan kiri (sosialis) yang berpengaruh pada periode awal kemerdekaan. Tokoh PSI Sutan Syahrir bahkan menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia, sejak 14 November 1945 (Kabinet Syahrir I), sampai 3 Juli 1947 (Syahrir III).

Amir Syarifuddin juga merupakan tokoh PSI yang menjadi Perdana Menteri kedua menggantikan Sutan Syahrir, dengan membentuk Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli 1947) dan berakhir dengan Kabinet Amir Syarifuddin II (29 Januari 1948). Berbeda dengan Syahrir, Amir Syarifuddin merupakan tokoh sosialis yang cenderung pada komunisme.

Yang menarik adalah besarnya peran tokoh-tokoh kiri pada masa awal kemerdekaan ini, baik yang berafiliasi pada komunisme seperti Amir Syarifuddin, maupun berafiliasi pada sosialisme seperti Sutan Syahrir. Meskipun demikian, kuatnya peran tokoh-tokoh kiri ini tak bisa menggoyang kepemimpinan Sukarno sebagai presiden dan tokoh nasionalis. Sukarno telah menjadi simbol yang bisa merangkul semua kekuatan politik, baik kekuatan politik kiri (komunisme dan sosialisme) maupun kekuatan politik kanan (Islam).

Dengan demikian, semua kekuatan ideologis ini mempunyai tujuan yang sama (compatible objective) pada masa itu, dalam melawan kolonialisme dan imperialisme, meskipun berbeda cara dalam melawannya. Karena itu, meskipun tokoh-tokoh yang mewakili kekuatan-kekuatan ideologi tersebut, cenderung berbeda dalam mensikapi sejumlah upaya diplomasi dengan Belanda, namun mempunyai kesamaan tujuan untuk memperkuat Indonesia merdeka.

Bukan berarti bahwa konflik politik tidak muncul ke permukaan. Kabinet Amir Syarifuddin misalnya, dimana kabinet ini jatuh (mengundurkan diri secara sukarela) setelah disalahkan dalam perjanjian Renville yang sangat merugikan Indonesia. Kelompok nasionalis dan Islam (Masyumi) adalah pihak yang paling keras mengkritik peran Amir Syarifuddin dalam diplomasi tersebut.

Pembelahan Sosial Sebagai Dampak Konflik Terbuka

Hal berbeda tentu saja terjadi dengan komunisme. Setelah pemberontakan Madiun tahun 1948, sejumlah sumber sejarah menyebutkan bahwa ribuan kader PKI terbunuh. Demikian juga korban dari kalangan kelompok Islam yang secara ideologis berseberangan dengan PKI. Pemberontakan Madiun tahun 1948 ini merupakan salah satu bentuk konflik terbuka, yang melahirkan pembelahan sosial secara mendalam pada saat itu.

Bahkan, setelah pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948, mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin pun ditembak mati oleh militer, tepatnya pada 19 Desember 1948, sebagai tokoh PSI yang cenderung pro komunisme.

Ada tiga kekuatan utama yang terlibat dalam konflik terbuka ini, yakni militer, kelompok Islam (khususnya NU), dan PKI. Konflik terbuka antara militer dan kelompok Islam di satu sisi, dengan PKI dan organisasi-organisasi afiliasinya di sisi lain, berdampak pada berbagai bentuk kekerasan fisik: pembunuhan, pembantaian, perusakan dan pembakaran fasilitas kelompok berbeda, dan sebagainya.

Konflik terbuka seperti ini biasanya berakar dalam dan nyata terlihat dalam masyarakat. Karena sifatnya yang mengakar dan terbuka, maka tingkat pembelahan sosial yang terjadipun, sangat dalam. Dalam kondisi seperti ini, kerekatan sosial dalam masyarakat menjadi rusak dan hancur. Saling curiga antar pihak menjadi suasana yang dialami dalam keseharian hidup masyarakat. Kepercayaan (trust), yang selama ini menjadi modal sosial dalam masyarakat menjadi terkikis. Propagada politik menjadi isu yang berkembang setiap hari dalam masyarakat.

Meskipun pemerintah dan militer mengambil tindakan keras kepada kelompok PKI setelah pemberontakan Madiun tahun 1948, trauma psikologis dan pembelahan sosial tidak mudah untuk disembuhkan oleh mereka yang menjadi korban dan keluarga korban pada saat itu. Apalagi, kekerasan politik yang melibatkan PKI ini, tidak hanya berhenti pada tahun 1948, namun berlanjut dalam episode konflik politik tahun 1965, yang akan kita bahas dalam bagian lain tulisan ini.

Di titik ini, pembelahan sosial yang terjadi, sudah mengarah pada apa yang disebut Coser (1967) sebagai perjuangan kelompok-kelompok yang berkonflik, bukan saja untuk mendapatkan apa yang dimau, tetapi juga untuk menyakiti, dan bahkan menghabisi lawan-lawannya.

Tentu saja, konflik politik yang menghasilkan pembelahan sosial seperti ini, tidak kita inginkan terjadi di masa sekarang. Sangat menyakitkan secara sosial. Perbedaan ideologi politik, meskipun tidak sama di tingkat nilai-nilai (incompatible values), namun harus diarahkan untuk sama di tingkat tujuan (compatible objectives), berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara.

Karena itu, sekeras apapun kontestasi politik elit, jangan sampai melahirkan kekerasan yang mengorbankan masyarakat, dan memperdalam pembelahan sosial.

Artikel ini pernah dimuat di www.watyutink.com

(Foto depan: www.watyutink.com)