Oleh Yusdi Usman
Komunisme dibantai habis setelah peristiwa 30 September 1965 (G30S). Tak ada sisa, tak ada bekas. Ia diberangus sampai ke akar-akarnya. Tentu saja komunisme tidak mati. Yang hancur adalah PKI sebagai partai politik yang menjadikan komunisme sebagai ideologinya. Yang dibantai adalah tokok-tokoh komunis, pendukung dan simpatisannya. Komunisme tetap hidup dalam sejarah, dalam ide, dan dalam kajian-kajian akademis.
Bagaimanapun, ideologi ini pernah mewarnai dunia politik kita. Ia memberi spirit perlawanan terhadap kolonialisme dan kapitalisme.
Setelah peristiwa G30S, satu persatu tokoh PKI dan elite-elite politik yang berafiliasi dengan PKI ditangkap, diadili, dan sebagian dieksekusi mati. Di seluruh Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, sekitar 500 ribu sampai satu juta orang simpatisan PKI dibantai. Tak ada data pasti tentang berapa jumlah korban pembantaian terbesar dalam sejarah Indonesia ini. Namun, banyak sumber sejarah memprediksi bahwa lebih dari satu juta orang menemui ajalnya pada periode Oktober 1965 sampai April 1966. Sebuah pembantaian yang sangat mengerikan.
Karena itu, sangat penting bagi kita untuk melihat sejauh mana dampak konflik politik di era demokrasi terpimpin dan pembantaian 1965-1966 terhadap pembelahan sosial di dalam masyarakat Indonesia. Apakah konflik politik dan pembantaian tersebut selesai setelah berlalunya waktu, atau justru masih ada pembelahan sosial yang tersembunyi, yang suatu ketika bisa menjadi konflik terbuka.
Konflik Politik Islam dan Komunisme
Pada periode demokrasi terpimpin (1959-1965), komunisme dan Partai Komunis Indonesia mempunyai peran yang sangat penting dalam perpolitikan Indonesia. PKI yang menjadi pemenang keempat dalam Pemilu 1955 segera berbenah diri dan menjadi pendukung utama Presiden Sukarno, khususnya sejak era demokrasi terpimpin. Apalagi, Sukarno mengembangkan konsep politik yang bertujuan untuk mengakomodir kepentingan PKI dan kekuatan-kekuatan ideologi politik lainnya pada masa itu, yakni Nasakom (nasionalisme, agama dan komunisme). Ketiganya mewakili kekuatan ideologi dominan pada era demokrasi terpimpin, yakni ideologi nasionalisme yang diwakili kelompok militer dan kaum nasionalis, agama yang diwakili oleh kelompok Islam, dan komunisme yang direpresentasikan oleh PKI.
Bung Karno mencoba merekatkan ketiga ideologi tersebut sebagai kekuatan yang menopang demokrasi terpimpin. Bung karno sendiri sudah membangun ideologi marhaenisme yang juga terinspirasi dari ide-ide marxisme, dan disesuaikan dengan kondisi sosio kultural bangsa Indonesia. Tak berlebihan jika Bung Karno begitu terpikat pada ide-ide marxisme, meskipun pemikirannya sendiri tak sepenuhnya sejalan dengan komunisme. Marhaenisme lebih dekat kepada sosial-demokrasi.
Meskipun Bung Karno mencoba merajut tiga ideologi besar era demokrasi terpimpin, dalam konsep politik Nasakom, tetap saja konflik politik antara ketiga ideologi besar ini menjadi tak terhindarkan, terutama antara Islam dan komunisme. Pemilu 1955 menjadi ajang kontestasi politik yang cukup panas antara kelompok Islam (Masyumi dan NU) dengan PKI. Setelah Konstituante gagal menjalankan tugasnya, dan Bung Karno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, PKI menyambut keputusan politik Sukarno ini dengan gembira.
Sikap berbeda diperlihatkan oleh Masyumi yang menentang tindakan otoriter Sukarno. Akibatnya, Sukarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960. Kondisi ini berdampak pada melemahnya kekuatan politik Islam di satu sisi, dan menguatnya peran PKI di sisi lain. Bung Karno membubarkan Masyumi (dan PSI) tanpa ada proses hukum di pengadilan. Pembubaran Masyumi ini dilatarbelakangi oleh sikap kritis Masyumi terhadap sejumlah kebijakan politik Sukarno, seperti pembubaran konstituante, dan tindakan Sukarno mengangkat anggota parlemen (DPRGR) yang bertentangan dengan semangat demokrasi serta cenderung otoriter.
Tak hanya terhadap Masyumi, PKI juga membuat propaganda untuk membubarkan HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam yang berbasis di kampus-kampus. Bedanya, jika Masyumi dibubarkan oleh Sukarno, HMI dianggap bukan ancaman politik oleh Sukarno sehingga tidak dibubarkan. Meskipun demikian, HMI aktif melakukan perlawanan terhadap PKI melalui berbagai kofrontasi intelektual di berbagai kampus.
Dengan demikian, konflik politik antara kelompok Islam dan komunisme, sejak awal kemerdekaan, pemberontakan Madiun 1948, dan pemilu 1955, mengkristal di era demokrasi terpimpin. Karena itu, jika kemudian kelompok-kelompok Islam bersama militer terlibat dalam pembantaian terhadap pendukung dan simpatisan PKI pasca G30S, kita bisa melacak jejak-jejak justifikasi historisnya. Dengan kata lain, konflik politik yang mendalam secara ideologis, ditambah dengan dukungan alat kekuasaan (militer), membuat pelaku-pelaku konflik menjadi mesin pembantai yang sangat efektif.
Pembelahan Sosial di Ujung Kekuasaan Sukarno
Tentu tidak mudah menganalisis dampak pembelahan sosial pasca konflik politik di era demokrasi terpimpin dan pembantaian 1965-1966. Ada kecenderungan bahwa konsolidasi pemerintahan Suharto sebagai penguasa transisi jelang berakhirnya Orde Lama, berupaya untuk meredam semua gejolak politik yang muncul ke permukaan. Apalagi, pembantaian 1965-1966 bisa dikatakan sebagai sebuah goncangan politik (political shock) yang membuat komunisme sebagai kekuatan politik menemui ajalnya.
Setelah serangkaian pembantaian terhadap pendukung dan simpatisan PKI pada periode 1965-1966, komunisme sebagai ideologi politik segera dilarang pada tahun 1966 melalui TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis/Marxisme Leninisme. TAP MPRS ini diputuskan dalam sidang MPRS di Bandung tanggal 21 Juni sampai 5 Juli 1966.
Bukan hanya itu, Suharto yang tampil sebagai penguasa baru pasca Sukarno, segera mengambil langkah-langkah strategi untuk mengokohkan kekuasaannya. Kekuasaan Sukarno sebagai presiden segera dicabut melalui TAP MPRS No. XXXIII Tahun 1967.
Namun demikian, pembelahan sosial secara ideologis tidak begitu nampak ke permukaan pada penghujung kekuasaan Sukarno, karena lawan politik (komunisme dan PKI) benar-benar telah dihabiskan, dan dibasmi sampai ke akar-akarnya. Dalam konteks ini, pembelahan sosial yang terjadi—mengutip Coser (1967)—benar-benar sebuah perjuangan, bukan hanya untuk mendapatkan apa yang dimau, tetapi juga untuk menyakiti, dan bahkan menghabisi lawan-lawannya. Dan, Suharto berhasil menghabisi lawan-lawan komunisnya, untuk mengukuhkan kekuasaan otoritariannya di kemudian hari.
Meskipun tidak mudah untuk melihat bagaimana dampak pembelahan sosial dari konflik politik di era demokrasi terpimpin dan pembantaian 1965-1966, namun sejumlah gejala pembelahan sosial tersimpan sebagai konflik tersembunyi (laten), yang bisa dianalisis kecenderungan-kecenderungannya di bawah ini.
Pertama, konflik politik era demokrasi terpimpin yang diwarnai dengan pembantaian 1965-1966, merupakan momentum yang menjadi legitimasi bagi transisi politik Orde Lama ke Orde Baru. Transisi politik yang sangat mahal tentunya, dengan korban lebih dari satu juta jiwa meregang nyawa. Bukan itu saja, Orde Baru juga melarang semua hal yang berbau komunisme, marxisme dan leninisme. Rezim otoriter ini juga melarang anak-anak dari keluarga komunis untuk menjadi pegawai negeri sipil, dan TNI/Polri. Sebuah kebijakan politik bumi hangus, yang tentu saja meninggalkan dendam mendalam dari keturunan pendukung PKI di kemudian hari.
Kedua, dalam sejumlah film dokumenter seperti Jagal atau The Act of Killing (2012) dan Senyap (2014), memperlihatkan bahwa dendam sosial (dendam secara kolektif) dari keturunan tokoh-tokoh atau orang-orang yang pernah menjadi pendukung komunisme, masih cukup kuat. Dendam sosial ini bisa menjadi semacam konflik laten (tersembunyi) yang ada dalam alam bawah sadar aktor-aktor dalam jaringan keluarga keturunan pendukung komunisme di Indonesia.
Apakah dendam sosial ini berbahaya? Dendam sosial ini bisa menjadi gejala pembelahan sosial di masyarakat, antara mereka yang tereksklusi karena pilihan ideologis orangtuanya (komunisme), dengan kelompok masyarakat lain yang melihat mereka sebagai musuh negara dan bangsa. Pembelahan sosial ini tidak berbahaya sejauh negara berupaya untuk menghapus eksklusi sosial yang dilekatkan pada keturunan pendukung komunisme di Indonesia.
Ketiga, dendam politik kelompok-kelompok Islam yang pernah menjadi korban komunisme. Dendam politik kelompok-kelompok Islam ini bisa dirunut sejak pemberontakan PKI tahun 1948. Setelah pemberontakan Madiun tahun 1948, sejumlah sumber sejarah menyebutkan bahwa ribuan kader PKI terbunuh. Demikian juga korban dari kalangan kelompok Islam yang secara ideologis berseberangan dengan PKI. Pemberontakan Madiun tahun 1948 ini merupakan salah satu bentuk konflik politik terbuka, yang melahirkan pembelahan sosial secara mendalam pada saat itu.
Pemberontakan PKI tahun 1948 ini menjadi catatan sejarah kelam yang membuat konflik politik antara kelompok Islam dan komunisme (PKI) terus berlanjut di era demokrasi terpimpin, apalagi kemudian Sukarno dianggap dekat dengan PKI dan membubarkan Masyumi tahun 1960 melalui tangan besi yang dimilikinya.
Dendam politik ini kemudian menjadi wacana politik yang terus berkembang di kalangan kekuatan politik Islam saat itu. Dendam politik ini tentu saja akan terus terbawa menjadi konflik latin di kalangan pendukung politik Islam sampai sekarang. Karena itu, wacana komunisme tetap dihembuskan oleh kelompok-kelompok politik Islam, meskipun komunisme tidak mungkin melakukan reinkarnasi di Indonesia. Namun, karena komunisme sebagai kekuatan politik telah mati, maka dendam politik ini tidak mempunyai efek apa-apa pada pembelahan sosial di masyarakat.
Yang menarik dari konflik politik era demokrasi terpimpin, pembantaian 1965-1966, dan transisi politik ke Orde Baru, adalah bahwa konflik-konflik politik dalam berbagai bentuk, baik yang terbuka dan mendalam, maupun tersembunyi (laten), merupakan fenomena politik yang pernah mewarnai perjalanan bangsa di masa lalu.
Tentu saja, fenomena politik tersebut terlalu mahal untuk dikalkulasi, dengan korban anak bangsa mencapai lebih dari satu juta jiwa.
Bagaimanapun, konflik politik adalah hal biasa dalam kontestasi politik. Yang harus dihindari adalah jangan sampai konflik politik melahirkan kekerasan, karena ia akan berdampak pada pembelahan sosial secara mendalam. Pembelahan sosial secara mendalam ini bisa berlanjut menjadi konflik terbuka, yang bisa berakibat negatif dan menguras energi bangsa.
Karena itu, konflik politik dan dampaknya pada pembelahan sosial merupakan fenomena biasa yang akan terus terjadi dalam perjalanan politik bangsa ini, sejak awal kemerdekaan sampai saat ini. Apakah konflik politik dan pembelahan sosial itu bisa mengancam terjadinya disintegrasi bangsa? Sejarah membuktikan bahwa kerekatan sosial (social coheciveness) bangsa ini terlalu kuat untuk dikoyak. Sejauh perekat bangsa ini, yakni Pancasila, tetap menjadi pegangan bersama, tak ada yang bisa mengoyak kita.
Artikel ini pernah dimuat di www.watyutink.com
(Foto depan: www.watyutink.com)