Oleh Yusdi Usman
Orde Baru adalah rezim politik otoriter paling lama di Indonesia. Rezim ini berdiri sejak 1966, berkuasa selama 32 tahun, dan tumbang pada 21 Mei 1998. Hancurnya rezim ini berjalan seiring menuanya sang penguasa rezim: Jenderal Besar Soeharto. Tentu saja, runtuhnya rezim ini juga diiringi oleh menguatnya krisis ekonomi di Asia Timur sejak bulan Juli 1997. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah negara-negara yang paling parah terdampak oleh krisis ekonomi ini.
Krisis ekonomi, yang dikuti oleh krisis politik dan berbagai krisis lainnya—dikenal dengan krisis multidimensi—dengan dorongan kekuatan mahasiswa sebagai agent of change, membuat Orde Baru tak mampu menahan arus besar perubahan yang bernama reformasi 1998. Gerakan ini menyadarkan rakyat bahwa perubahan ternyata bisa terjadi, bahwa sebuah rezim paling militeristik pun bisa dihancurkan.
Euforia reformasi tidaklah seindah yang kita bayangkan. Reformasi melahirkan harapan akan perubahan, sekaligus meninggalkan sejarah kelam pembelahan sosial bangsa ini. Reformasi 1998 menyisakan duka kekerasan kepada anak bangsa dari etnis tertentu, yang sebelumnya dianaktirikan secara politik dan budaya oleh rezim otoriter Orde Baru. Tentu saja, pembelahan sosial ini mempunyai sejarah panjang yang bisa ditelusuri sejak jaman kolonial.
Reformasi 1998 juga membuka sekat-sekat pembelahan sosial yang sebelumnya ditutup rapat oleh rezim Orde Baru, demi stabilitas keamanan dan berjalannya roda pembangunan. Isu sensitif yang berhubungan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan, atau yang dikenal dengan istilah SARA, merupakan isu terlarang untuk disentuh dan dibicarakan pada masa Orde Baru. Setelah reformasi, isu ini justru menjadi terbuka untuk dikupas, dan dalam konteks tertentu melahirkan konflik sosial horizontal di dalam masyarakat, seperti kekerasan pada etnis China saat reformasi, konflik Ambon, konflik Sampit, konflik Lampung, dan sebagainya.
Bagaimanapun, pembelahan sosial pada saat reformasi adalah letupan konflik laten yang ditutup rapat pada masa rezim otoriter Orde Baru berkuasa. Rezim otoriter ini tidak mencoba menyelesaikan potensi konflik yang melahirkan pembelahan sosial ini, melainkan dengan kekuatan otoriter, melakukan berbagai upaya untuk meredam konflik-konflik sosial ini lahir ke permukaan. Namun demikian, konflik dan pembelahan sosial yang diredam oleh rezim Orde Baru, dalam konteks tertentu, tetap mencuat ke permukaan, yang tentu saja, melahirkan luka mendalam bagi masyarakat dan keluarga korban.
Tangan Besi Mengontrol Kehidupan Rakyat
Orde Baru lahir dari konflik dan kekerasan. Suharto sebagai aktor utama Orde Baru mampu menegakkan rezim otoriter ini berbasis pada legitimasi politik yang dimilikinya: menghancurkan Partai Komunis Indonesia dan membantai lebih dari satu juta kadernya. Setelah komunisme tumbang sampai ke akar-akarnya, rezim ini segera melakukan konsolidasi. Setelah pemilihan umum (pemilu) pertama pada 1971 yang dimenangkan oleh Golkar (62,8 persen), rezim ini menyadari bahwa pemilu yang direkayasa sedemikian rupa, ternyata dapat memenangkan Gorkar sebagai partai pendukung rezim.
Karena itu, untuk meredam konflik politik dan melakukan depolitisasi kepada rakyat, pada tahun 1973, rezim otoriter Orde Baru segera melakukan penyederhanaan partai politik menjadi tiga parpol saja, yakni Pertama, Golongan Karya yang menjadi alat kekuasaan rezim. Kedua, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketiga, PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang merupakan gabungan dari sejumlah partai politik, yakni PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
Penyederhanaan partai politik ini berhasil melakukan depolitisasi dalam kehidupan masyarakat. PPP dan PDI kemudian hanya menjadi parpol pengiring kemenangan Golkar yang penuh rekayasa di setiap pemilihan umum, sejak pemilu 1971 sampai pemilu terakhir di era Orde Baru tahun 1997. Dalam pemilu di senjakala Orde Baru pada 1997, Golkar justru memperoleh kemenangan terbesar sepanjang sejarahnya, yakni 74,51 persen. Kemenangan besar ini sekaligus menjadi akhir dari sejarah tangan besi rezim Orde Baru.
Selain penyederhanaan partai politik, ada sejumlah strategi tangan besi lainnya yang dilakukan rezim otoriter ini untuk meredam konflik politik, dan konflik sosial berbasis SARA, termasuk:
Pertama, Dwi fungsi ABRI. Dwi fungsi ABRI merupakan strategi yang dijalankan rezim Orde Baru untuk memperkuat kedudukan rezim secara politik. Konsep dwi fungsi ini mempunyai sejarah panjang sejak jaman kemerdekaan, dan diterapkan secara matang pada masa rezim Orde Baru. ABRI menjadi alat negara untuk menguasai dan menduduki berbagai jabatan sipil seperti Gubernur, Bupati dan Walikota. Demikian juga keterwakilan militer di MPR dan DPR yang diangkat tanpa dipilih melalui pemilu. Militer juga mengisi berbagai jabatan sipil di kementerian, BUMN, dan sebagainya.
Kehadiran militer dalam kehidupan sipil ini sekaligus menciptakan kelas baru dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Kesan yang dimunculkan adalah bahwa militer mempunyai kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan sipil. Bahkan, secara akademis ada kajian yang menegaskan bahwa dwifungsi ABRI ini merupakan upaya untuk memperkuat kepemimpinan militer dalam berbagai bidang, sekaligus memunculkan stigma bahwa sipil merupakan pihak yang lemah dan tidak bisa memimpin bangsa ini, seperti yang diperankan oleh militer.
Konsekuensi dari dwifungsi ABRI ini sangat luas, termasuk secara internal militer, membuat profesionalisme ABRI menjadi sangat rendah. Militer disibukkan oleh urusan sipil dan politik yang seharusnya bukan urusannya. Karena itu, pada masa Orde Baru, sejumlah literatur sejarah menyebutkan bahwa kekuatan militer Indonesia merupakan yang paling lemah di Asia Tenggara.
Konsekuensi lain dari dwifungsi ABRI adalah menjadikan dwifungsi ini sebagai alat untuk meredam kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat. Karena semua jabatan sipil di pemerintahan cenderung diisi oleh militer, termasuk di legislatif, maka rezim otoriter ini membuka ruang untuk sebuah proses yang ditolak demokrasi, yakni kritik. Kritik dan mengkritik rezim adalah sebuah pantangan besar. Sejumlah peristiwa berdarah lahir dari sikap rezim yang antikritik ini, antara lain peristiwa Malari 1974, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa 27 Juli 1996, termasuk pemberontakan GAM di Aceh dan OPM di Papua.
Kedua, Matinya oposisi. Oposisi merupakan penyeimbang dalam sistem demokrasi. Oposisi menjadi pihak yang berperan dalam mengkritik rezim penguasa tatkala rezim berjalan tidak searah dengan cita-cita bersama. Oposisi menjadi syarat wajib dalam sebuah negara yang menjalankan sistem politik demokrasi. Namun, tidak demikian halnya dengan rezim otoriter Orde Baru. Oposisi dimatikan, partai politik dikebiri, dilemahkan, dan dijadikan boneka dalam sistem politik otoriter yang dinamakan oleh rezim ini sebagai Demokrasi Pancasila. Tentu saja, yang dimaksud Demokrasi Pancasila adalah demokrasi versi rezim, demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan rezim sampai 32 tahun lamanya.
Ketiga, NKK/BKK . Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan merupakan kebijakan rezim Orde Baru tahun 1978. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef melalui surat keputusan No.0156/U/1978, tertanggal 19 April 1978. Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kedua kebijakan ini menjadi dasar hukum bagi rezim untuk mengkebiri kegiatan politik mahasiswa di kampus. Kebijakan NKK/BKK bertujuan untuk mematikan gerakan mahasiswa di kampus, sekaligus melarang kegiatan politik mahasiswa di kampus.
Konsekuansi dari kebijakan NKK/BKK adalah terjadinya depolitisasi kehidupan mahasiswa di kampus. Kebijakan ini sekaligus selaras dengan upaya untuk melemahkan lahirnya pemimpin-pemimpin politik dari kalangan sipil, sekaligus meneguhkan supremasi militer dalam semua kehidupan masyarakat. Karena itu, suasana kampus secara umum berubah menjadi study oriented. Namun demikian, rezim Orde Baru tak berhasil mengendus gerakan bawah tanah yang dijalankan oleh sejumlah organisasi mahasiswa ekstra kampus, yang kemudian menjadi kekuatan masif dalam menggulingkan rezim otoriter ini tahun 1998.
Keempat, Azas tunggal Pancasila. Kebijakan azas tunggal Pancasila adalah upaya rezim Orde Baru untuk menyeragamkan semua kekuatan sosial politik di Indonesia. Kebijakan yang dilahirkan tahun 1985 juga sekaligus untuk melemahkan kekuatan-kekuatan politik di luar rezim. Konflik dan perpecahahan di dalam sejumlah ormas terjadi sebagai konsekuensi dari kebijakan azas tunggal ini. Tentu saja, penolakan sejumlah organisasi sosial dan politik terhadap azas tunggal bukanlah penolakan terhadap Pancasila, melainkan menolak cara rezim menyeragamkan azas bagi organisasi sosial dan politik.
Semua organisasi ingin menempatkan Pancasila sebagai dasar negara, dan sebagai ideologi negara. Namun, untuk azas organisasi, selain Pancasila, juga seharusnya bisa azas lain yang menjadi identitas masing-masing organisasi. Demikian kira-kira pembelaan dari sejumlah organisasi yang menolak azas tunggal Pancasila saat itu.
Sangat panjang untuk ditulis mengenai sepak terjang tangan besi rezim Orde Baru dalam mengontrol kehidupan rakyat. Rakyat diarahkan untuk mendukung semua kebijakan rezim. Yang tidak mendukung rezim atau berbeda dengan rezim, maka akan berhadapan dengan kekuasaan rezim otoriter ini. Karena itu, ada ungkapan pada masa itu bahwa ”dinding-dinding rumah pun menjadi mata-mata rezim untuk menakuti rakyat”. Tentu saja, sepak terjang rezim otoriter ini juga membawa kebaikan dalam kemajuan ekonomi bangsa, meskipun dalam sekejap hancur disapu oleh badai krisis tahun 1997.
Pembelahan Sosial Sebagai Energi Positif
Seperti sudah kita bahas di atas bahwa rezim otoriter Orde Baru melakukan semua upaya untuk meredam gejolak politik dan sosial di dalam masyarakat, melalui pengebirian partai politik, penyeragaman organisasi sosial politik, pembatasan kebebasan berbicara, matinya oposisi, depolitisasi mahasiswa, serta keterlibatan militer dalam berbagai sektor kehidupan yang seharusnya menjadi domain sipil.
Kondisi demikian dapat diibaratkan seperti magma di perut bumi yang panasnya terus meningkat dan berpotensi untuk meletus. Di penghujung kekuasaan Orde Baru, semua sumbatan politik ini meledak, melahirkan reformasi 1998.
Berbeda dengan transisi politik dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru tahun 1966, yang ditandai dengan penghancuran terhadap semua kekuatan politik lama oleh Suharto, transisi Orde Baru ke Orde Reformasi tidak menghancurkan kekuatan politik lama. Untuk itu, perubahan tahun 1998 disebut dengan reformasi, yang artinya memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem politik, sosial dan ekonomi era sebelumnya.
Karena itu, kekuatan Orde Baru masih tetap bercokol dan membonceng reformasi, baik secara kelembagaan maupun aktor-aktor lama yang beradaptasi dengan suasana sosial politik reformasi. Golkar adalah kekuatan lama yang tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan suasana politik reformasi. Demikian juga sejumlah aktor Orde Baru yang masih bercokol dalam dunia politik kita, hingga saat ini.
Yang penting juga adalah, bahwa transisi politik dari Orde Lama ke Orde Reformasi tidak mengubah struktur ekonomi yang sudah timpang sebagai warisan rezim otoriter Orde Baru. Ketimpangan struktur ekonomi ini akan menjadi letupan-letupan yang berpotensi menjadi ledakan besar yang membelah bangsa ini, jika tidak ditangani dengan baik. Demikian juga kebebasan politik, berorganisasi dan berpendapat yang disumbat pada masa Orde Baru, meledak di era reformasi ini.
Seperti dalam seri tulisan saya sebelumnya, bahwa konflik politik, konflik sosial, dan konflik lainnya yang berpotensi pada lahirnya pembelahan sosial dalam masyarakat, adalah kondisi yang biasa saja dalam masyarakat. Konflik juga bersifat fungsional dalam mendorong perubahan. Cepat atau lambat, rakyat akan belajar bagaimana berkonflik secara baik, bagaimana pembelahan sosial diarahkan untuk perubahan.
Yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan semua pihak adalah bukan meredam konflik seperti yang dilakukan rezim Orde Baru, melainkan Bagaimana mengelola konflik-konflik sosial ini secara bagus dan proporsional, menghindari terjadinya kekerasan, sehingga ia menjadi energi positif untuk perubahan dan perbaikan bangsa ke depan.
Artikel ini pernah dimuat di www.watyutink.com