Oleh Yusdi Usman
Istilah “moderasi sosial” belum banyak digunakan oleh para peneliti dan ahli ilmu sosial. Kata “moderasi” sudah mulai digunakan untuk analisis tentang isu-isu radikalisme dalam beragama, yakni moderasi beragama. Moderasi beragama dimaksudkan sebagai sebuah proses untuk memperkuat paham beragama yang moderat dan toleran terhadap perbedaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi adalah kata benda yang dimaknai sebagai “pengurangan kekerasan” atau “penghindaran keekstreman”. Saya lebih suka dengan istilah kedua, yakni sebagai upaya untuk mengurangi dan atau menghindari ide dan pemikiran yang mengarah pada level ekstrem. Sementara kekerasan merupakan tindakan lebih lanjut dari ide dan pemikiran ekstrem ini.
Mengacu pada KBBI ini, maka moderasi sosial bisa dimaknai sebagai sebuah upaya untuk mengurangi berkembangnya ide dan pemikiran ekstrem di level societal atau masyarakat. Pemikiran ekstrem ini bisa berbasis pada pemahaman agama, ideologi politik, maupun pemikiran tertentu yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok sosial dan politik dalam masyarakat.
Moderasi sosial diperlukan sebagai sebuah landasan bernegara dalam kondisi masyarakat kita yang majemuk. Kemajemukan itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan sosial yang tidak dapat kita abaikan dan hindari. Tidak ada sebuah negara manapun di dunia ini yang komposisi masyarakatnya hanya berbasis pada satu ras/etnis saja atau satu agama saja, atau kelompok sosial tertentu saja. Dalam sebuah negara/masyarakat, selalu ditemukan adanya keragaman/kemajemukan berbasis ras, etnis, agama dan kelompok sosial, yang membentuk struktur kelas sosial.
Kelas sosial yang terbentuk ini kemudian memperlihatkan kondisi statis, yakni kelompok sosial mana lebih banyak secara kuantitatif dibandingkan kelompok sosial lainnya. Kelas sosial juga menunjukkan kondisi dinamis, dimana adanya akses dan penguasaan yang berbeda antar kelompok sosial terhadap sumberdaya ekonomi dan politik dalam sebuah negara. Yang penting dilakukan adalah memastikan adanya kesamaan akses dan penguasaan oleh semua kelompok sosial secara inklusif, termasuk kelompok sosial minoritas.
Perbedaan sosial berbasis ras, etnis, agama, dan kelompok sosial cenderung rentan melahirkan disparitas sosial yang akan mengeksklusikan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Apalagi adanya relasi kuasa yang timpang, baik secara sosial, politik dan ekonomi, berpotensi besar lahirnya kesenjangan dalam mengakses berbagai sumberdaya dalam masyarakat. Kondisi ini secara langsung bisa memunculkan konflik-konflik sosial dalam berbagai bentuk, baik terbuka maupun laten.
Potensi konflik sosial ini harus dikelola dan dikurangi, karena jika membesar, maka tidak mudah ditangani dengan pendekatan apapun. Potensi konflik sosial ini juga akan memperkuat berkembangnya ide dan pemikiran ekstrem yang sudah ada sebelumnya, baik berbasis ideologi politik, pemikiran keagamaan, maupun pemikiran ekstrem yang berkembang dalam kelompok sosial tertentu.
Memperkuat Moderasi Sosial
Yang menjadi tantangan kita yang hidup dalam kemajemukan ini adalah bagaimana memperkuat moderasi sosial untuk masyarakat inklusif. Masyarakat inklusif sendiri adalah sebuah konsep dimana semua warga negara mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama secara politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum, tanpa memandang perbedaan ras, suku, agama, gender dan kelas sosial. Tentu saja tidak mudah menghadirkan masyarakat inklusif mengingat adanya relasi kuasa dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya penguasaan dan akses yang berbeda antar warga negara dan kelompok sosial yang powerful dan powerless.
Di satu sisi, penguatan moderasi sosial menjadi titik masuk menuju masyarakat inklusif. Namun di sisi lain, mengurangi ketimpangan akses dan penguasaan terhadap sumberdaya adalah upaya lain untuk melahirkan masyarakat inklusif secara lebih holistik. Karena itu, masyarakat inklusif akan menguat melalui moderasi sosial dan pengurangan ketimpangan akses terhadap sumberdaya secara paralel. Dalam konteks ini, peran negara menjadi sangat besar untuk memastikan kedua hal ini bisa berjalan secara beriringan.
Khusus untuk memperkuat moderasi sosial untuk mendukung pembentukan masyarakat inklusif, ada sejumlah hal yang perlu ditangani, termasuk:
Pertama, memperkuat dialog inklusif dengan berbagai kelompok masyarakat tentang pentingnya menjaga kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa perlu diperkuat kesadaran bahwa kemajemukan adalah sebuah realitas sosial, sunnatullah, yang tidak bisa kita hindari. Dengan pemahaman yang kuat bahwa kemajemukan secara sosial ini harus kita terima, maka sejak dini, setiap warga negara mulai disosialisasikan tentang bagaimana memperkuat pemahaman dan penerimaan terhadap kemajemukan berbasis ras, etnis, agama, gender dan kelompok sosial lainnya.
Kedua, merangkul semua kelompok sosial dalam rangka memperkuat moderasi sosial di level kelompok dalam berbagai arena. Merangkul kelompok-kelompok sosial ini perlu dilakukan untuk memperkuat engagament dalam rangka membagun kesepahaman tentang bagaimana berbangsa dan bernegara dalam kemajemukan berbasis ras, etnis, agama, gender, dan kelompok sosial lainnya. Upaya merangkul kelompok-kelompok sosial ini terkadang tidak mudah dilakukan karena membutuhkan adanya representasi kelompok sosial secara berimbang. Namun demikian, strategi merangkul kelompok-kelompok sosial bisa dilakukan berbasis tingkat moderasi sosial yang melekat pada kelompok-kelompok sosial tersebut. Kelompok-kelompok sosial tertentu yang mempunyai tingkat moderasi sosial lebih rendah misalnya, perlu diprioritaskan untuk dilakukan engagement.
Ketiga, mengurangi stigmatisasi kepada kelompok-kelompok sosial tertentu yang berbeda secara politik. Stigmatisasi akan melahirkan labelling yang membuat kelompok-kelompok sosial tertentu menjadi tereksklusi. Dari pada memberi labelling yang cenderung memperlebar jarak, lebih bagus membangun kolaborasi dengan berbagai kelompok sosial untuk memperkuat moderasi sosial ini secara inklusif. Stigmatisasi tidak akan menyelesaikan masalah terkait dengan upaya penguatan moderasi sosial. Stigmatisasi juga akan cenderung memperkuat eksklusi sosial terhadap mereka yang mendapat stigma tertentu secara sosial.
Keempat, penegakan hukum adalah langkah terakhir dalam memperkuat moderasi sosial ini dalam masyarakat. Penegakan hukum perlu dilakukan kepada kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa dirangkul dalam memperkuat moderasi sosial. Dalam konteks ini, pemerintah bisa membuat spektrum moderasi sosial untuk menilai tingkat moderasi sosial berbagai kelompok dalam masyarakat. Kelompok-kelompok sosial dengan spektrum moderasi sosial rendah, artinya cenderung pada ide dan pemikiran ekstrem, jika tidak bisa dirangkul, maka pendekatan hukum adalah pilihan tepat. Contoh kelompok sosial dengan tingkat moderasi sosial rendah adalah kelompok teroris dan separatis. Penegakan hukum perlu dilakukan kepada kelompok teroris dan separatis yang memang berpotensi melakukan kekerasan dalam berbagai bentuk. Namun, penyelesaian masalah melalui dialog tetap merupakan pilihan terbaik.
Sejauh ini, pemerintah sudah melakukan upaya penegakan hukum dalam rangka mengurangi tindakan terorisme dan separatisme. Namun, satu hal yang perlu diperkuat adalah bagaimana mengurangi tindakan extra judicial dalam penegakan hukum ini, sehingga upaya penegakan hukum kita akan semakin humanis di masa yang akan datang dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan kelompok sosial dengan tingkat moderasi sosial rendah ini. #
Dr. Cand. Yusdi Usman adalah sosiolog dan pengamat perubahan sosial.