Memulai Program Pemberdayaan Masyarakat

Catatan Yusdi Usman

Kata orang, langkah pertama adalah langkah yang paling sulit untuk memulai sesuatu. Jika langkah pertama sudah dilewati, maka langkah kedua, ketiga, dan seterusnya akan mudah dijalankan. Demikian juga dalam program pemberdayaan masyarakat. Bagaimana memulai sebuah program pemberdayaan masyarakat? Tindakan permulaan (memulai sebuah proses) merupakan tahap krusial menuju perencanaan program pemberdayaan masyarakat.

Berhadapan dengan masyarakat bukanlah perkara mudah. Seringkali, pendekatan yang salah akan berdampak pada kegagalan program pemberdayaan sejak awal. Untuk itu, sebelum sampai para proses perumusan perencanaan dalam pemberdayaan masyarakat desa, dibutuhkan tindakan permulaan dan pendekatan yang bagus dengan komunitas. tindakan permulaan tersebut termasuk (1) membangun kepercayaan, (2) memahami kondisi masyarakat, (3) membangun komunikasi dan koordinasi dengan parapihak.

Membangun Kepercayaan

Membangun kepercayaan dengan masyarakat adalah tahap yang paling sensitif. Kesalahan dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat akan berdampak pada kegagalan program pemberdayaan, bahkan sebelum program dilaksanakan. Apalagi, jika masyarakat di suatu komunitas/desa atau beberapa desa yang akan menjadi subyek pemberdayaan, pernah mengalami pengalaman buruk di masa lalu terkait program pembangunan yang dilakukan oleh pihak lain.

Karena itu, kita bisa menerapkan beberapa pilihan strategi dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat tersebut. Ada beberapa pilihan langkah yang bisa dilakukan.

Pertama, mengajak tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai nama baik dan akses ke dalam komunitas/desa yang akan menjadi subyek pemberdayaan. Tokoh-tokoh masyarakat ini bisa merupakan tokoh-tokoh formal seperti pejabat pemerintah kabupaten dan kecamatan atau tokoh-tokoh informal seperti ulama, tokoh adat, dan akademisi di tingkat kabupaten. Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan jembatan untuk menghubungkan kita dengan masyarakat desa.

Kedua, menjadikan program pemberdayaan sebagai bagian dari program pemerintah kabupaten atau provinsi. Untuk kepentingan ini, pelaksana program pemberdayaan perlu melakukan pendekatan dan membangun kemitraan terlebih dahulu dengan pemerintah kabupaten dan provinsi. Biasanya, program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat sipil, proses koordinasi dengan pemerintah lokal (provinsi dan kabupaten) akan melekat pada dinas-dinas sektoral.

Misalnya, program pemberdayaan yang berkaitan dengan isu stunting dan perlindungan anak akan berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Program pemberdayaan yang berkaitan dengan isu konservasi sumberdaya alam akan berada di bawah koordinasi Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (tingkat provinsi), dan sebagainya.

Dalam konteks tertentu, meminjam tangan pemerintah kabupaten dan provinsi, upaya pendekatan ke pemerintah desa dan masyarakat desa akan lebih mudah dilakukan. Namun, pendekatan melalui tangan pemerintah kabupaten dan provinsi ini hanya dilakukan jika pendekatan melalui tokoh-tokoh formal dan informal tidak berjalan atau tidak cukup efektif dalam membangun kepercayaan kepada masyarakat desa.

Ketiga, menggunakan tangan-tangan tokoh-tokoh desa terpelajar untuk menjadi bagian dari program pemberdayaan yang akan dilakukan. Tokoh-tokoh desa terpelajar biasanya mempunyai akses dan pergaulan yang lebih luas, sehingga lebih mudah dibangun komunikasi untuk kebutuhan pemberdayaan. Misalnya, mahasiswa asal desa yang menjadi target pemberdayaan bisa diajak untuk menjadi tim program pemberdayaan. Mahasiswa-mahasiswa ini bisa menjadi ujung tombak dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat desa.

Keempat, cara lainnya yang relevan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat tersebut. Cara-cara lain ini biasanya didapat dari hasil diskusi dengan berbagai pihak yang memahami dan mempunyai informasi dan pengalaman tentang komunitas/desa yang akan dijadikan subyek pemberdayaan.

Memahami Kondisi Masyarakat

Setelah kepercayaan dengan masyarakat desa berhasil dibangun, maka proses selanjutnya adalah memahami kondisi masyarakat desa tersebut. Bagaimana memahami kondisi masyarakat tersebut? Tentu saja, aktor pemberdayaan masyarakat tidak boleh hanya memahami kondisi masyarakat dari kulitnya saja.

Jika memungkinkan, aktor-aktor pemberdayaan perlu mengetahui dan memahami kondisi masyarakat secara lebih mendalam, dalam berbagai arena kehidupan mereka, termasuk arena sosial (pola relasional, kelas sosial, relasi kuasa, konflik sosial, dan sebagainya), arena budaya (nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, teknologi, seni, dll.), arena ekonomi (kondisi ekonomi, pendapatan rumah tangga, penguasaan lahan dan sumberdaya alam, kemiskinan, akses pasar, rantai nilai, dsb.), dan arena lainnya.

Ada beberapa cara untuk memahami kondisi masyarakat, baik cara yang mendalam maupun pemahaman umum saja.

Pertama, untuk memahami secara mendalam kondisi masyarakat, aktor-aktor pemberdayaan masyarakat bisa melakukan penelitian etnografi. Penelitian etnografi biasanya memakan waktu lama, bisa setahun dan bahkan bertahun-tahun. Riset etnografi bisa menjadi pilihan jika kebutuhan untuk melaksanakan program pemberdayaan tidak mendesak untuk dilaksanakan.

Ada dua pendekatan etnografi yang bisa dilakukan oleh aktor-aktor pemberdayaan masyarakat, yakni pendekatan grounded theory dan extended case method (ECM). Aktor-aktor pemberdayaan masyarakat bisa berkolaborasi dengan akademisi di perguruan tinggi atau para peneliti di lembaga penelitian dan NGO untuk melaksanakan penelitian etnografi tersebut.

Kedua, melalui pendekatan PRA atau participatory rural appraisal. PRA bisa membantu untuk melakukan pemetaan kondisi masyarakat secara partisipatif, termasuk bisa memahami tentang kondisi sejarah masyarakat desa, pola penguasaan lahan dan sumberdaya alam, konflik sosial, pola musim dalam pengelolaan pertanian dan sumberdaya alam, peta stakeholder, dan lain-lain. PRA ini dikembangkan sejak tahun 1980-an oleh Robert Chambers dan teman-temannya. Tentang teknik PRA, pembaca bisa mendapatkannya di banyak sumber.

Ketiga, jika waktu yang dimiliki sangat pendek, maka bisa digunakan pendekatan RRA atau rapid rural appraisal. RRA merupakan cara memahami kondisi desa secara cepat. Meskipun penilaian cepat, namun informasi yang diperoleh juga akurat meskipun tidak mendalam dibandingkan dengan PRA, apalagi penelitian etnografi.

Ketiga, pendekatan lainnya yang relevan. Jika penelitian etnografi, PRA dan RRA tidak mungkin dilakukan, karena berbagai keterbatasan, maka aktor-aktor pemberdayaan masyarakat bisa menggunakan data-data sekunder untuk memahami kondisi masyarakat desa. Namun, pendekatan ini tidak disarankan. Bagaimanapun, memahami kondisi masyarakat desa secara langsung akan terhindar dari berbagai kesalahan terhadap persepsi dan pemahanan tentang masyarakat desa itu sendiri. Kesalahan ini akan berakibat fatal karena berdampak pada distorsi dalam perencanaan program pemberdayaan masyarakat desa.

Komunikasi dan Koordinasi Parapihak

Memberdayakan masyarakat desa tidak cukup hanya sekedar melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan. Yang juga tidak bisa diabaikan adalah komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak lain, khususnya otoritas lokal, yakni pemerintah kabupaten dan provinsi. Koordinasi ini diperlukan, bukan hanya untuk sinkronisasi dan menghindari adanya tumpang tindih kegiatan, melainkan untuk mendapatkan dukungan secara lebih luas. Dukungan ini penting karena program pemberdayaan sendiri mempunyai berbagai keterbatasan.

Dukungan utama dari pemerintah lokal adalah dukungan kebijakan dan anggaran. Dukungan kebijakan dan anggaran diperlukan untuk memperkuat program pemberdayaan yang sedang atau sudah berjalan di masyarakat, serta kemungkinan pemerintah lokal untuk melakukan replikasi best practices ke wilayah-wilayah lain.

Di sisi lain, dukungan pemerintah lokal juga diperlukan untuk mengisi gap dalam program pemberdayaan. Misalnya, program pemberdayaan yang fokus pada isu konservasi sumberdaya alam, biasanya tidak bisa menangani kebutuhan lain dalam masyarakat, seperti pembangunan jembatan yang rusak, anak putus sekolah, dsb. Di titik inilah kehadiran pemerintah dibutuhkan untuk saling melengkapi dalam proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Membuat Perencanaan Bersama

Perencanaan pemberdayaan masyarakat, idealnya, dibuat bersama dengan masyarakat desa. Idealnya juga, perencanaan pemberdayaan masyarakat desa diselaraskan dengan rencana pembangunan desa yang terdapat dalam RPJMDes dan Program Kerja Pemerintah Desa. Di sisi lain, perencanan pemberdayaan masyarakat ini perlu juga disesuaikan dengan rencana pembangunan oleh pemerintah kabupaten/provinsi di tingkat desa. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya tumpang tindih program pembangunan di tingkat desa.

Di sisi lain, pemerintah desa mempunyai keterbatasan anggaran dalam melaksanakan pembangunan desa. Program pemberdayaan masyarakat desa yang akan dilaksanakan oleh NGO atau CSR korporasi juga mempunyai keterbatasan anggaran. Karena itu, program pemberdayaan harus diarahkan untuk menangani dan menyelesaikan masalah-masalah strategis dalam masyarakat desa yang tidak/belum bisa ditangani oleh pemerintah desa dan pemerintah kabupaten/provinsi.

Masalah-masalah strategis dalam masyarakat desa inilah yang perlu dipetakan bersama dan dirumuskan target penyelesaian dan atau capaian dalam periode waktu tertentu. Misalnya, dalam tiga tahun terjadi pengurangan 50% stunting di desa, atau dalam waktu tiga tahun sebanyak 50% warga desa meningkat pendapatannya, atau dalam waktu lima tahun sebanyak 60% masyarakat desa mempunyai sumber ekonomi alternatif dan tidak melakukan kegiatan ekonomi dalam kawasan konservasi yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan, dan lain sebagainya.

Masalah-masalah strategis adalah masalah-masalah yang sangat penting, berdampak luas, dan mempunyai tingkat urgensi tinggi untuk ditangani oleh semua pihak. Strategis tidaknya sebuah masalah hanya dipahami dan dirasakan oleh masyarakat desa itu sendiri. Di titik inilah, perencanaan secara partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat desa perlu dilakukan.

Proses perumusan rencana program pemberdayaan masyarakat desa bisa dilaksanakan melalui berbagai diskusi terfokus (FGD) dengan berbagai pihak di desa. Aktor-aktor pemberdayaan masyarakat perlu memastikan bahwa proses perumusan rencana program bukan hanya partisipatif, tetapi juga harus inklusif. Artinya, jangan sampai ada kelompok-kelompok masyarakat tertentu di desa tersisihkan dalam proses perencanaan. Seringkali, orang-orang miskin di desa tereksklusi dalam proses-proses perumusan kebijakan yang biasanya didominasi oleh elit-elit masyarakat desa.

Setelah proses partisipatif berjalan, perencanaan pemberdayaan masyarakat desa bisa diturunkan dalam bentuk dokumen perencanaan, atau istilah lain seperti peta jalan, blueprint, dan sebagainya, yang selaras dengan RPJMDes. Di dalam dokumen perencanaan tersebut terdapat berbagai informasi tentang rencana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, termasuk kerangka logis, peta, dan berbagai informasi lainnya. Informasi rencana pemberdayaan ini biasanya ditampilkan dalam tabel dengan berbagai indikator capaian dalam waktu tertentu.

Di tingkat teknis, proses perencanaan dalam pemberdayaan masyarakat desa akan dibahas dalam tulisan lain, termasuk analisis sosial, pemetaan pohon masalah, pemetaan stakeholder, kerangka logis (logical framework), theory of change, dan lain-lain.

Yusdi Usman, Dr. Cand. adalah peneliti sosial dan CEO Rumah Berkelanjutan.

Catatan konsultansi ini merupakan upaya yang dilakukan penulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman konsultansi, baik berupa catatan lapangan, tips, best practices, dan sebagainya. Selama lebih dari 20 tahun, penulis terlibat dalam berbagai kegiatan konsultansi, termasuk (1) penelitian sosial, (2) penelitian kebijakan publik, (3) perencanaan pembangunan, (4) evaluasi program pembangunan, (5) pemberdayaan masyarakat, termasuk program CSR (Corporate Social Responsibility) oleh korporasi, dan (6) kegiatan konsultansi yang berkaitan dengan sustainability, baik riset/analisis berbasis standar internasional seperti IFC Performance Standard, RSPO, dan standar lain, serta riset/analisis dalam penyusunan sustainability report, ESMS, SIA, dan sebagainya. Catatan konsultansi ini secara berseri akan menampilkan isu-isu tersebut.