Oleh Yusdi Usman
Konflik politik merupakan salah satu bentuk konflik sosial yang disebabkan oleh adanya kontestasi politik dalam berbagai bentuk. Seringkali, konflik politik tidak berdiri sendiri, ia berkaitan dengan berbagai dinamika sosial, ekonomi, dan budaya, dalam sebuah masyarakat. Konflik tidak harus dimaknai secara negatif. Konflik juga bisa bersifat positif dan bahkan fungsional. Dengan kata lain, konflik berfungsi dalam mendorong perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat kita.
Namun demikian, konflik politik juga bisa membawa dampak buruk dalam masyarakat. Salah satunya adalah terjadinya pembelahan sosial sebagai akibat dari kontestasi politik yang tidak sehat. Pembelahan sosial ini secara cepat atau lambat dapat berpengaruh pada penurunan tingkat kerekatan sosial (social cohesiveness). Dalam kondisi tingkat kerekatan sosial melemah, maka modal sosial berupa kepercayaan (trust) dalam masyarakat, juga menjadi menipis. Hal ini secara langsung akan berkontribusi pada terjadinya gejolak sosial yang lebih besar, yang bisa berujung pada lahirnya konflik terbuka di dalam masyarakat.
Pendekatan Konflik Sosial
Satu hal yang harus disadari adalah bahwa konflik merupakan sebuah fenomena sosial biasa, yang terjadi dalam setiap masyarakat. Dalam sosiologi, terdapat sebuah perspektif utama yang mengkaji tentang perubahan sosial, yakni pendekatan konflik sosial (social-conflict approach), disamping dua pendekatan utama lainnya, yakni pendekatan struktural-fungsional dan sombolik-interaksionis.
Pendekatan sosial konflik ini melihat masyarakat sebagai ”an arena of inequality that generates conflict and change”. Jadi, pendekatan sosial konflik ini memandang masyarakat sebagai arena ketidakadilan yang menghasilkan konflik dan perubahan. Pendekatan ini juga melihat bahwa sistem dalam masyarakat bekerja untuk menguntungkan sebagian kelompok dan merugikan kelompok lainnya. Ketidakadilan sosial ini menyebabkan terjadinya konflik yang berdampak pada perubahan sosial.
Dalam kajian konflik, sosiolog Dahrendorf merupakan salah satu tokoh penting yang mengembangkan teori konflik. Dahrendorf (1958) mengatakan bahwa konflik sosial dimaknai sebagai konflik yang lahir dari posisi-posisi di dalam struktur sosial secara independen yang berorientasi pada perubahan masyarakat. Sementara itu, Lewis Coser (1967) memberikan batasan yang lebih jelas bahwa konflik sosial merupakan perjuangan terhadap nilai, status, kekuasaan, atau sumberdaya langka, dimana tujuan dari kelompok-kelompok yang berkonflik bukan saja untuk mendapatkan apa yang dimau, tetapi juga menetralkan, menyakiti, dan bahkan menghabisi lawan-lawannya.
Pemikiran teori konflik yang lebih kontemporer dikembangkan oleh Kriesberg (1998). Kriesberg (1998) menyebutkan bahwa konflik sosial akan eksis ketika dua atau lebih orang atau kelompok mempunyai kepercayaan bahwa mereka mempunyai tujuan yang tidak sesuai (incompatible objectives). Pengertian Kriesberg tersebut juga memasukkan dimensi-dimensi kepercayaan (beliefs) dan kesenjangan harapan (incompatible expectation) yang menyebabkan lahirnya konflik.
Mengacu pada tiga pemikir teori konflik di atas, maka bisa kita lihat bahwa Dahrendorf menekankan pada posisi-posisi (kelas sosial) yang menjadi penyebab konflik di dalam masyarakat. Sementara Coser memberi penekanan pada perjuangan nilai, status, kekuasaan, dan sumberdaya langka oleh berbagai kelompok masyarakat. Sedangkan Kriesberg memberi perhatian pada tujuan yang berbeda (incompatible objectives) dan kesenjangan harapan (incompatible expectations) sebagai penyebab konflik sosial di dalam masyarakat.
Dalam konteks yang lebih operasional, Fisher (2000) menawarkan cara melihat bentuk konflik di lapangan menurut sasaran dan prilaku aktor. Bentuk-bentuk konflik oleh Fisher dibagi dalam empat bentuk: tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan. Tujuan dari pemetaan konflik tersebut adalah untuk menggambarkan tipe-tipe konflik yang memudahkan kita dalam memahami konflik dan menuntun kita untuk memilih berbagai bentuk intervensi yang sesuai dalam mencari solusi terbaik. Keempat bentuk konflik menurut Fisher adalah sebagai berikut.
Pertama, Tanpa konflik. Kondisi tanpa konflik terlihat seolah-olah lebih baik. Namun, kalau kita pahami konflik dalam terminologi positif, maka kondisi tanpa konflik ini membuat masyarakat menjadi stagnan dan kurang dinamis. Jika setiap kelompok dalam masyarakat yang hidup damai, jika ingin keadaan ini terus berlangsung, maka mereka harus hidup bersemangat dan dinamis dengan cara memanfaatkan dan mengelola konflik secara kreatif.
Kedua, Konflik laten. Konflik jenis ini sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
Ketiga, Konflik terbuka. Konflik jenis ini merupakan konflik yang berakar dalam dan nyata ada dan terlihat di dalam masyarakat. Karena sifatnya yang mengakar dan terbuka, maka diperlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai dampak yang ditimbulkannya.
Keempat, Konflik di permukaan. Konflik jenis ini mempunyai akar konflik yang dangkal atau tidak berakar, dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai kondisi di lapangan, dan dapat diselesaikan melalui komunikasi yang lebih baik.
Konflik Politik dan Pembelahan Sosial
Kalau kita lihat pendekatan teoritis dari teori konflik di atas, terlihat bahwa kesenjangan yang terlalu lebar antar kelas sosial merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik. Di sisi lain, konflik juga terjadi karena adanya perjuangan nilai, status, kekuasaan, dan sumberdaya langka oleh berbagai kelompok masyarakat. Dan yang lebih penting adalah bahwa adanya tujuan yang berbeda (incompatible objectives) dan kesenjangan harapan (incompatible expectations) sebagai penyebab konflik sosial di dalam masyarakat.
Yang menjadi tantangan adalah bagaimana konflik yang disebabkan oleh adanya kontestasi politik (konflik politik) bisa berkontribusi pada terjadinya pembelahan sosial di dalam masyarakat. Sebenarnya, tidak mudah untuk menilai aspek mana yang lebih berpengaruh pada terjadinya pembelahan sosial sebagai akibat dari adanya konflik politik. Apakah (1) kesenjangan antar kelas sosial, atau (2) perjuangan nilai, status, kekuasaan, dan sumberdaya langka, atau (3) adanya tujuan yang berbeda (incompatible objectives), yang lebih berperan dalam terjadinya konflik, yang berdampak pada pembelahan sosial dalam masyarakat?
Ketika semua fenomena sosial yang berkaitan dengan penyebab terjadinya konflik tersebut masuk dalam ranah politik, artinya diperjuangkan dalam ruang politik secara demokratis, maka peluang terjadinya pembelahan sosial di dalam masyarakat, seharusnya menjadi mengecil. Di sisi lain, jika proses-proses politik tidak mampu menyelesaikan berbagai kondisi konfliktual tersebut, maka pembelahan sosial akan semakin terbuka.
Namun demikian, pembelahan sosial akan semakin mudah terjadi jika konflik politik disebabkan oleh adanya dua hal utama yang diperjuangkan oleh kelompok politik berbeda, yakni (1) nilai-nilai yang bebeda (incompatible values) dan (2) tujuan yang berbeda (incompatible objectives).
Nilai-nilai (values) merupakan prinsip-prinsip sosial, tujuan, dan standar-standar yang dipegang dalam sebuah budaya yang mempunyai harga secara instrinsik (Hatch, 1997). Dengan kata lain, nilai juga didefinisikan sebagai standar-standar yang digunakan orang untuk memutuskan apa disebut baik, diinginkan, dan menjadi panduan bagi kehidupan sosial (Macionis, 2012). Dalam politik, perbedaan nilai-nilai (incompatible values) yang digunakan oleh partai politik atau kelompok-kelompok yang berafiliasi pada kekuatan politik tertentu, bisa dimaknai sebagai perbedaan ideologi.
Ideologi dimaknai sebagai sebuah sistem ide yang dikonstruksikan berdasarkan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Perbedaan ideologi ini secara langsung berpengaruh pada perbedaan dalam mencapai tujuan (objectives) terhadap masyarakat yang dicita-citakan. Di titik inilah, konflik politik menjadi perhatian kita semua.
Namun demikian, sistem demokrasi memberi ruang pada masyarakat untuk mengelola konflik politik ini secara lebih baik. Dalam demokrasi, konflik-konflik politik ini dilembagakan dalam institusi-institusi demokrasi, terutama lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPD). Dalam lembaga perwakilan inilah, semua dinamika tentang konflik politik yang berkaitan dengan perbedaan ideologi dan tujuan, dapat diperdebatkan secara leluasa oleh para wakil rakyat.
Apakah dengan demikian, pembelahan sosial di dalam masyarakat selesai? Tentu tidak! Hal inilah yang akan saya kaji dalam sejumlah tulisan selanjutnya, bagaimana konflik politik dan pembelahan sosial terjadi sejak Orde Lama sampai saat ini, dengan menggunakan kerangka teori konflik sosial yang sudah dibahas dalam tulisan ini. Kajian historis ini menjadi penting karena konflik-konflik politik yang terjadi saat ini, dapat kita lacak secara historis, sejak era awal kemerdekaan Indonesia.
Artikel ini pernah dimuat di www.watyutink.com
(Foto depan: www.watyutink.com)