PENGANTAR
Kemiskinan, konflik dalam keluarga dan perceraian, seringkali menjadi awal petaka bagi anak-anak. Anak-anak yang baru menimati hidup, dan belum bisa menghidupi diri sendiri, lalu terekslusi secara sosial. Mereka terombang-ambing dengan masa depan suram. Terhempas di jalanan dengan resiko kekerasan yang menghampiri.
Cerita di bawah ini merupakan narasi yang ditulis seorang anak bernama Salma (bukan nama asli). Salma adalah anak perempuan yang tercerabut dari keluarganya. Nasibnya ditakdirkan terobang-ambing dan berakhir di Balai Rehabilitasi Sosial Pengasuhan Anak (RSPA) Yogyakarta.
Tulisan Salma ini kemudian diperbaiki, dikoreksi, dan disempurnakan oleh Feriawan Agung Nugroho. Alumni Fisipol UGM ini merupakan pegawai di Balai RSPA Yogyakarta. Atas izin Salma dan Feriawan, cerita menarik ini hadir di depan pembaca!
***
AKU TERUS BERTAHAN
Namaku Salma, aku anak ke dua dari dua bersaudara. Sekarang aku kelas XI SMK. Kakakku namanya Tata’. Nama aslinya Fitri. Ceritanya, waktu aku kecil tidak bisa memanggilnya Fitri, keluarnya Tata’. Maka sampai sekarang kupanggil dia Tata’.
Ayahku bernama Adi dan ibuku bernama Yani. Sepasang suami istri yang berbahagia waktu itu, waktu aku masih kecil. Senang dan tenteram. Sampai suatu hari aku mendapati ayah dan ibu bertengkar hebat. Sering sekali. Setiap bertengkar mereka selalu berteriak:
”Pisah!!…Pisah!”
Aku tidak sengaja mendengarkan teriakan mereka. Waktu itu aku menangis. Perasaanku sedih. Takut. Aku takut jika mereka meninggalkan aku dan Tata’.
Tata’ datang menemuiku, ketika tangisku pecah dan dia bangun dari tidur.
“Ada apa, Salma?” tanyanya.
Aku langsung menghambur memeluk Tata’. Kami berdua akhirnya sama-sama mendengarkan pertengkaran itu. Sampai pertengkaran itu selesai.
Selesai pertengkaran, Ayah terlihat tergesa-gesa membereskan semua baju yang ada di lemari. Ayah pun langsung bergegas pergi meninggalkan aku, Tata’ dan ibu. Tanpa pesan. Tanpa pamit.
Waktu berlalu sekitar beberapa minggu sejak peristiwa itu. Ibu membereskan baju-baju aku dan Tata’ yang ada di lemari. Setelah selesai, Ibu mengajakku dan Tata’ pergi ke tempat Simbah. Di tempat Simbah, aku dititipkan.
“Kamu di sini dengan Tata’ ya. Sama Simbah dulu. Ibu mau cari kerja. Kamu baik-baik di sini ya. Doakan ibu segera dapat kerja, biar kamu dan Tata’ bisa segera sekolah. Ya?”pesan ibu. Aku dan Tata’ mengangguk saja. Tak banyak berkata.
Sebenarnya aku tidak mau jika ditinggal Ibu. Aku tidak mau merasakan ditinggal oleh orang tua untuk kedua kalinya. Rasanya tidak enak. Tetapi aku bisa apa. Aku hanya bisa mengangguk.
Satu tahun berlalu sejak ibu meninggalkan aku dan Tata’ di rumah Simbah. Satu tahun pula tidak ada kabar dari Ibu. Ayah juga tak ada kabar. Aku dan Tata’ akhirnya berhenti sekolah karena tidak ada biaya. Simbah tidak bekerja. Tidak ada uang untuk kami membayar uang sekolah.
***
Dua tahun berlalu sesudah itu. Saat itulah Ayah datang menjemput kami, setelah 3 tahun tak kami lihat. Ayah datang tanpa sepengetahuan Simbah yang saat itu masih di sawah. Ayah hanya memberitahu tetangga bahwa aku dan Tata’ dibawanya pergi ke Semarang.
Kami bertiga berangkat ke Semarang. Di Semarang kami berhenti di sebuah masjid. Aku tidak tahu di masjid mana persisnya. Yang Aku tahu, letaknya di pinggir jalan raya.
“Nduk, Tata’, tunggu sebentar ya. Ayah mau mengambil galon air,” kata Ayah. Aku dan Tata’ mengangguk.
“Jangan lama-lama, Ya Yah. Aku takut jika di sini,” kataku.
Ayah hanya diam. Tersenyum.
Beberapa jam berlalu, Ayah belum kembali. Aku dan Tata’ takut. Semakin takut setelah lama kemudian Ayah tidak kembali.
Sejam. Dua jam. Hingga malam menjelang. Bahkan sampai kemudian empat hari kami berada di masjid itu. Bayangkan. Empat hari. Aku dan Tata’ tidak makan apapun. Kami hanya minum air yang ada di masjid. Air mentah tentu saja.
“Kalian lapar?” tanya seseorang yang membersihkan masjid. Kami mengangguk. Tak lama kemudian dia kembali membawa makanan dan the manis yang hangat. Kami makan dengan lahap. Belum pernah makanan terasa begitu enak saat itu.
Pak Bejo, nama Bapak yang baik itu. Pak Bejo menanyakan banyak hal pada kami. Tata’lah yang banyak menjawab. Sampai beberapa saat kemudian Pak Bejo paham tentang apa yang terjadi.
“Begini. Kalian tinggal di rumah Bapak dulu bagaimana? Nanti, jika Ayah kalian datang, kalian bisa pulang bersama Ayah kalian. Ya? Kalau di sini terus nanti kasihan kalian. Di rumah Bapak, meskipun sederhana, setidaknya kalian bisa lebih nyaman. Ya?” kata Pak Bejo.
Awalnya kami ragu. Takut. Tetapi karena Pak Bejo begitu baik, kami menurut saja.
***
Tidak terasa, Enam tahun lebih kami hidup bersama Pak Bejo. Enam tahu lebih kami menunggu Ayah kembali. Bapak tidak kembali. Tidak tahu mengapa.
Pak Bejo orangnya sangat baik. Beliau menyekolahkan kami, merawat kami, mengajari kami mengaji. Bagi kami, beliaulah Ayah yang sesungguhnya.
Sampai suatu hari, tetangga mengabarkan bahwa ibu mencari-cariku di Semarang. Mendengar itu kami seolah mendapat harapan baru,bertemu lagi dengan ibu. Sampai saat itu terkabul. Ibu datang menjemput kami.
Kami berpelukan, Kami menangis bahagia. Aku bahagia. Aku pikir ibu tidak mencari kami. Ternyata ibu mencari-cari sekian lama.
Pak Bejo menyarankan agar aku dan Tata’ kembali pulang bersama ibu. Meskipun berat rasanya aku dan Tata’ berpisah dengan Pak Bejo, kami berpisah. Aku, Tata’ dan Ibu pulang ke rumah Simbah. Lagi-lagi, aku dititipkan kepada Simbah.
***
Sehari sesudah kami pulang ke rumah Simbah, Ayah datang. Ayah kembali dengan membawa surat perceraian. Diberikannya surat itu kepada Ibu dan langsung ditandatangani tanpa basa-basi. Tanpa ada penjelasan mengapa Ayah menceraikan Ibu.
Aku takut. Tata’ juga takut. Takut ditinggalkan lagi oleh Ayah dan Ibu.
Ayah pergi. Benar-benar pergi entah kemana. Tidak sepatah kata pun dia sampaikan kepada aku, kepada Tata’, dan kepada Ibu. Pergi begitu saja tanpa pamit. Itu adalah terakhir kalinya melihat Ayah dalam keadaan seperti itu.
Malam hari, ibu mendapat panggilan. Ibu harus berangkat kerja esok hari.
“Ibu kerja di mana?” tanyaku.
“Malaysia, Akung,”jawabnya. Akung adalah panggilan Ibu kepada Simbah. Ternyata ibu bekerja sejauh itu. Menjadi TKI.
“Tata’. Kamu jaga adik baik-baik yaa. Ibu titip. Rawat adikmu baik-baik.”
Ibu memelukku, memeluk Tata’, menangis. Aku cium tangan ibu. Tata’ juga.
Ibu pergi.
Kami sekarang anak tanpa orang tua.
***
Dua tahun berlalu. Ibu tak ada kabar lagi. Apa yang dijanjikan untuk selalu memberi kabar, semuanya bohong. Mungkin, Ibu sudah tidak ingat lagi dengan anak-anaknya.
***
Sesuatu yang tidak kami duga terjadi. Ayah pulang ke rumah Simbah. Tetapi keadaan sudah berbeda. Ternyata Ayah sudah tidak bisa lagi melihat. Matanya sudah buta. Apa penyebabnya, ayah tidak cerita.
Aku dan Tata’ bingung, tak tahu harus bagaimana. Jika mengingat apa yang Ayah lakukan selama ini, sebenarnya kami kecewa. Tetapi demi melihatnya dalam kondisi seperti itu kami juga tidak tega. Kami harus bisa menerimanya dengan keadaanya yang sudah seperti itu.
***
Beberapa bulan berlalu. Ayah merasa sedih karena mengetahui kami tidak sekolah karena tidak ada biaya. Ayah merasa bersalah. Sampai kemudian ayah memutuskan untuk menjadi pengemis agar aku dan Tata’ bisa sekolah lagi.
Dari mengemis, ayah bisa mendapatkan uang yang cukup untuk kami bersekolah. Maka, kamipun kembali bersekolah untuk menggapai cita-cita dan mimpi kami yang tertunda. Akungnya, kembali bersekolah dalam keadaan seperti ini bukan hal yang muda. Di sekolah, Aku dan Tata’ selalu diejek oleh teman-teman.
“Weeeek..anak pengemiiiisss…”
“Heeee..isin-isin, Bapake Ngemis..bapake ngemis…”
“Anake wong ngemis”
Sedih rasanya. Aku selalu diam jika sudah diejek seperti itu. Jika tidak tahan, aku menangis. Tata’ pun merasakan hal yang sama. Tata’ memelukku untuk membagi kesedihan.
Dihina sebagai anak pengemis, bagiku itu menyakitkan. Tetapi bagaimana lagi. Aku dan Tata’ tak bisa melawan. Tak bisa apa-apa.
Setelah lulus dari SD, Tata’ tidak melanjutkan sekolah. Tata’ ingin langsung kerja, karena jika lanjut sekolah itu berarti akan butuh biaya yang lebih banyak lagi. Aku, karena Tata’ sudah berhenti sekolah, juga ikut putus sekolah meskipun aku masih kelas 4 SD. Berhenti sekolah aku lakukan karena aku kasihan dengan Ayah, juga tidak tahan dengan ejekan teman-temanku.
***
Beberapa hari Tata’ mencari kerja. Akhirnya memperoleh pekerjaan meski hanya menjadi seorang baby sitter.
Tata’ bekerja, maka aku di rumah hanya bersama dengan Simbah dan Ayah. Karena sekolah berhenti, aku pun ikut dengan Ayah ke pasar. Setiap hari, dari pagi sampai siang menggandeng tangan Ayah untuk mengemis di pasar. Sore hari, setelah selesai pulang dari pasar, aku langsung memasak nasi dan makanan lain untuk disantap sehari-hari.
***
Beberapa bulan kemudian, aku merasa kecewa dan marah dengan Ayah. Ayah sudah melakukan tindakan yang tidak pantas kepadaku melebihi tindakan sepantasnya orang tua terhadap anak. Tidak terpuji. Aku merasa malu, takut, marah dan benar-benar terpukul dengan kejadian itu. Aku bersyukur karena saat itu terjadi Allah SWT masih melindungiku. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Minggat. Tanpa berpikir untuk memberitahu Ayah, Tata’ dan Simbah. Kabur tanpa berpikir mau ke mana.
Aku bingung. Aku tidak tahu mau ke mana saat itu. Aku berpikir seandainya aku tahu alamat Tata’ bekerja, aku akan ke sana. Tetapi aku tidak tahu di mana Tata’ bekerja. Aku tidak memiliki alamat ataupun nomor telepon untuk menghubungi Tata’.
***
Aku berjalan sampai dengan Terminal Giwangan. Sampai di terminal aku tidak tahu harus ke mana lagi. Uang sudah habis, tidak ada yang tersisa. Akhirnya aku tidur di terminal selama sehari semalam. Aku tidur di depan toko dan merasa sangat takut.
Pagi hari, toko dibuka. Aku disapa oleh pemilik toko.
“Kamu kenapa, Dik? Mengapa kamu sendiri di sini? Orang tua kamu di mana?”
Berceritalah aku kepada si pemilik toko tentang diriku saat itu. Pemilik toko simpati kepadaku. Dengan kebaikannya, dia mengajakku untuk ikut dengannya. Aku diperkenalkan dengan keponakannya yang bernama Laura yang usianya lebih tua beberapa tahun.
Dua tahun aku ikut dengan pemilik toko. Dua tahun aku ikut dengan mereka, sampai kemudian aku diajak berjualan terminal menjajakan salak di atas bus. Tadinya, aku pikir gampang berjualan salak. Ternyata tidak juga. Oleh si pemilik, jika target jualan tidak tercapai, maka tidak boleh pulang. Biasanya, aku berjualan sampai larut malam.
Seminggu melakukan pekerjaan itu, Laura merasa iba padaku. Dia merasa kasihan.
“Seharusnya kamu sekolah. Jangan berjualan karena kamu masih kecil,” katanya.
“Gak papa kok”, kataku sambil tersenyum.
Laura tidak bisa menerima permaklumanku. Hari itu juga Laura mengajakku kabur. Ternyata Laura mengajakku kabur ke kantor polisi. Kepada Polisi, Laura menceritakan apa yang terjadi padaku.
Pak Polisi saat itu mendengarkan dan memberikan tawaran.
“Jika kamu tidak mau pulang ke rumahmu, sebaiknya kamu di panti saja. Di sana banyak teman-temanmu. Aman. Kamu juga bisa sekolah lagi.”
Aku hanya bisa diam. Aku hanya ikut saja ketika Laura berbincang dengan Polisi tentang aku.
Sore hari, Pak Polisi mengantarku. Aku pikir akan mengantar pulang, ternyata aku diantar ke Dinas Sosial DIY.
Laura pulang setelah berpamitan. Laura tetap berjualan salak.
***
Kepergian Laura membuatku sedih. Kembali aku tidak memiliki teman, tidak ada yang bisa untuk ku ajak berbicara. Meski begitu, aku ikuti segala proses, mulai dari menginap di suatu tempat yang bernama RPS (Rumah Penaungan Sosial), sampai kemudian diantar ke sebuah tempat dengan bangunan megah bernama Panti Sosial Anak Asuh (PSAA). Ternyata itulah panti yang kemudian menjadi tempat tinggalku sampai sekarang, yang berganti nama menjadi Balai RSPA.
Hari-hari awal di tempat ini memang tidak berjalan mulus. Meskipun di sini tidak semencekam yang aku kira. Di sini ada sesamaku yang perempuan dan laki-laki. Aku diantar ke sebuah tempat yang disebut sebagai asrama. Aku takut juga, jangan-jangan di asrama ini aku tidak memiliki teman.
Sampai kemudian ketemu dengan dua orang teman perempuan yang menyapaku.
“Hai, aku Tika”
“Hai, aku Tari”
Sedikit senang, karena akhirnya ada teman sebaya. Tetapi malam hari aku masih menangis. Aku takut jika nantinya di sini aku akan disuruh berjualan salak lagi. Aku takut, jika suatu saat di sini tidak betah, aku tidak bisa ke mana-mana lagi.
Alhamdulillah, ternyata bayanganku sirna. DI sini aku bisa sekolah lagi, melanjutkan dari kelas 5 SD. Aku bangga dan besyukur. DI sini bisa terus sekolah hingga sekarang aku kelas XI SMK. Sungguh, aku merasa beruntung meski jauh dari orang tua. Aku yakin, jika aku bersungguh-sungguh, aku akan sukses. Aku bisa meraih cita-citaku.
Di sini aku belajar untuk mandiri. Belajar, agar tidak membenci orang tua, meski mungkin itu tidak mudah. Jika aku sudah lulus dari sini, tentu aku tidak akan pernah melupakan kenangan di sini. Semuanya akan selalu kuingat. Terima kasih! (Admin)
(Foto depan: Feriawan Agung Nugroho)