Aktivis, Pejuang Reformasi, Ketua Senat Mahasiswa, Lantas IP Nol

Pernahkan anda mendapatkan IP (Indeks Prestasi) 0 (nol) saat kuliah? Saya yakin ada diantara anda pernah mendapatkan IP nol. Banyak sebab yang membuat anda tidak bisa belajar dan akhirnya mendapat nilai semester nol. Ada yang mengalami kendala ekonomi, sehingga harus bekerja sambil kuliah, atau tidak cocok jurusan keilmuan yang dipilih, atau banyak juga yang sibuk dengan pacaran haha.

Namun, adakah diantara anda yang informasi IP nol dimuat di media nasional? Saya yakin tidak ada. Hanya saya yang mengalaminya tahun 1998. Saat itu, saya diberi amanah memimpin sebuah organisasi intra kampus mahasiswa UGM, yakni sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM periode 1998-1999, yang dipilih dalam Kongres Mahasiswa UGM tahun 1998. Kongres tersebut juga memilih Megandaru Kawuryan sebagai Sekretaris Jenderal Senat Mahasiswa UGM periode 1998-1999.

Saya menggantikan Bang Ridaya Laode Ngkowe sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM periode 1997-1998. Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, Mas Anies Baswedan, Ph.D., juga pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM periode 1992-1993.

Memimpin sebuah organisasi mahasiswa dengan membawa nama besar UGM tentu tidak mudah dan tidak ringan. Apalagi pada waktu itu sedang berlangsung transisi politik nasional pada tahun-tahun awal reformasi 1998.

Saat itu, saya dan teman-teman saya sesama aktivis di Senat Mahasiswa UGM mengemban amanah berat untuk mengawal reformasi 1998, setelah sebelumnya, bersama seluruh elemen masyarakat Indonesia, bersama-sama berhasil meruntuhkan rezim otoriter Orde Baru, dengan lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998. Transisi demokrasi dari otoriterianisme Orde Baru ke era demokrasi membutuhkan pengawalan yang sangat serius dari berbagai elemen masyarakat, kalangan intelektual, aktivis mahasiswa, dan berbagai elemen pro reformasi.

Mengapa? Reformasi 1998 bukanlah sebuah perubahan mendasar seperti revolusi. Reformasi 1998 masih mengakomodasikan pemikiran dan kekuatan-kekuatan lama Orde Baru yang bermertamorfosis menjadi kekuatan baru dan mengklaim pro reformasi. Kekuatan lama ini berasal dari berbagai aktor Orde Baru yang membonceng kekuatan pro reformasi.

Karena itu, perlu ada upaya untuk mengawal sejumlah agenda reformasi, terutama pada tahun-tahun awal transisi politik ini berlangsung. Kondisi ini membuat agenda konsolidasi politik yang saya lakukan bersama jaringan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil pro reformasi di tingkat nasional menjadi sangat padat. Saat saya dalam posisi sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM, sebagian waktu saya habiskan di Jakarta dan sebagian lagi di Jogja. Kondisi ini membuat saya tidak sempat masuk kuliah sekalipun.

***

Biasanya, saya, Sekjen Dr. Megandaru Kawuryan, dan sejumlah pimpinan Senat Mahasiswa UGM, seperti Dr. Andi Yanuardi, Prof. Eko Priyo Purnomo, Ph.D., Dr. Ariana Marastuti, Yanto, Ph.D. dan beberapa tim saya lainnya (yang saat ini sebagian mereka sudah bergelar Doktor), sering didatangi wartawan pada tahun-tahun 1998-1999 itu, untuk berbagai keperluan wawancara atau diskusi berbagai isu sosial dan politik nasional setelah kejatuhan Orde Baru. Saat itu, euforia reformasi 1998 sedang kuat-kuatnya, dan posisi politik mahasiswa sangat kuat dalam transisi demokrasi yang sedang berjalan.

Karena itu, dalam posisi sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM, saya sering diundang menjadi pembicara oleh berbagai pihak di Yogyakarta dan nasional di Jakarta, termasuk oleh lembaga-lembaga pemerintah pusat dalam rangka memperkuat transformasi reformasi kepada aparatur negara.

Suatu hari, wartawan majalah nasional GATRA, Joko Syahban, mengajak saya bincang-bincang santai di sekitar gelanggang mahasiswa UGM. Dia bertanya tentang perkembangan kuliah dan nilai Indeks Prestasi (IP) saya. Saya bilang bahwa IP saya semester lalu NOL. Eh, beberapa hari kemudian terbit majalah GATRA tanggal 26 Desember 1998, dan menjadi berita nasional. “Aktivis, pejuang reformasi, ketua senat mahasiswa, lantas nilai jeblok”, tulis GATRA.. hahaha

Yusdi Usman, Depok, 21 Mei 2021. Foto depan: bbc.com